Minyak jelantah atau used cooking oil berbahaya bagi kesehatan manusia jika dikonsumsi. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengedukasi masyarakat terkait cara menggoreng yang baik dan tidak menggunakan minyak jelantah. Kendati demikian, pengawasan minyak jelantah bukanlah wewenang BPOM.
Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang dipakai kembali dan ini mengalami perubahan mutu. Kandungan vitamin A sudah meguap, perubahan mutu sudah terjadi yang dapat dilihat dari kandungan peroksida, asam lemak bebas dan kadar air.
Dra, Rita Endang, Apt, M.Kes Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM RI mengungkapkan bahwa minyak jelantah mengandung komponen hasil degradasi yang berdampak pada kesehatan. Bahaya minyak jelantah dapat mempengaruhi organ tubuh manusia seperti diare, gangguan enzim, usus, pertumbuhan tubuh.
“Jika terus menerus menggunakan minyak jelantah bertahun-tahun bisa terjadi mutagenesitas atau canser. Sehingga sangat dianjurkan menggunakan minyak goreng baru, bukan minyak jelantah,” ungkap Rita saat menjadi pembicara dalam hybrid webinar bertemakan “Kupas Tuntas Regulasi Minyak Jelantah Dari Aspek Tata Niaga dan Kesehatan”, Rabu (23 Juni 2021).
Acara ini diselenggarakan oleh GIMNI dan Majalah Sawit Indonesia dengan dukungan penuh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS). Kegiatan dibuka oleh Dr. Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian RI. Ada pun sambutan dari Eddy Abdurrachman, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dan Bernard Riedo, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).
Merujuk hasil pengawasan BPOM terjadi penyalahgunaan minyak jelantah. “Salah satunya tingginya harga minyak goreng memicu berbagai tindakan kecurangan, misalnya membuat minyak goreng curah oplosan,” kata dia.
Kemudian minyak jelantah dikumpulkan oleh para pengumpul mayoritas bersumber dari hotel, restaurant, catering dan industrimie.
“Minyak jelantah yang sudah dipakai berulang-ulang tidak layak pakai. Apa lagi minyak ini dijernihkan atau dimurnikan dengan menggunakan bahan tambahan yang tidak diizinkan,” terang Rita.
Dia mengatakan, minyak jelantah berulang kali dipakai dan dikonsumsi oleh masyarakat. Namun ada pihak-pihak tertentu yang memang menggunakan satu bahan tambahan pangan (BTP) dapat dimurnikan, sehingga warnanya jauh lebih jernih dan ini tidak diizinkan.
BTP sebagaimana tertuang dalam pasal 21 Peraturan BPOM No.11 Tahun 2019 dilarang untuk menyembuyikan penggunaan bahan yang tidak memenuhi persyaratan. Kemudian menyembuyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi pangan olahan yang baik (CPPOB) dan menyembuyikan kerusakan pangan.
Selain itu, BPOM melakukan pengawasan pre market dan post market terhadap pangan olahan termasuk minyak goreng sawit. “Diharapkan pangan tersedia yang aman, bermutu dan memmiki gizi,” jelas Rita.
BPOM juga melakukan pengawasan secara konsisten terhadap penerapan CPPOB di sarana produksi pangan, termasuk penanganan limbah. “Minyak jelantah adalah limbah produksi dan bukan pangan, sehingga pengawasannya tidak menjadi tupoksi BPOM,” tandas dia.
Pengawasan post-market juga dilakukan terhadap minyak goreng sawit, baik di sarana produksi mau pun dalam peredaran. Selain itu, BPOM melakukan sampling secara khusus terhadap produk minyak goreng sawit dengan syarat merujuk pada SNI 7709:2019.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 117)