JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Sahat Sinaga, Pengamat Sawit, menyatakan resolusi sawit yang diputuskan Parlemen Uni Eropa menunjukkan mereka sudah kehilangan akal sehat. Dengan resolusi ini, mereka ingin tampil lebih superior daripada sawit karena ada arahan supaya investasi dialihkan kepada rapeseed.
“Jadi, soft oils seperti soya, rapeseed, sunflower ternyata tidak mampu bersaing dengan sawit,”kata Sahat di Jakarta, Sabtu (8/4/2017).
Sahat Sinaga menduga pasar soft oils semakin terdesak yang berdampak kepada petani di Uni Eropa juga. “Jadi mereka berang mengaoa negaranya nggak berbuat apa-apa,”ujarnya.
Menurut Sahat segala macam kampanye negatif sawit telah dibuat sepanjang 25 tahun ini terakhir. Belum lagi, berbagai sertifikasi sawit harus diikuti oleh produsen Indonesia. Cara ini dilakukan agar biaya produksi sawit lebih tinggi.
“Kita (produsen) harus bayar untuk sertifikasi itu,”jelas Sahat yang berkecimpung dalam dunia perkelapasawitan selama 25 tahun lamanya.
Sahat menambahkan ada sekitar 30 institusi maupun NGO yang dibuat di Uni Eropa untuk mengawasi sawit dan bertugas khusus mendiskreditkan sawit.
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan, menyebutkan catatan-catatan negatif dalam resolusi tersebut bagian penghinaan kepada Indonesia dan hal itu tidak bisa diterima. “Tuduhan bahwa sawit adalah korupsi, sawit adalah eksploitasi pekerja anak, sawit adalah pelanggaran hak asasi manusia, dan sawit menghilangkan hak masyarakat adat, semua itu tuduhan yang keji dan tidak relevan sekarang,” katanya.
Sahat mengusulkan kepada semua produsen sawit di Indonesia supaya melupakan semua sertifikasi sawit asing, cukup dengan ISPO.
“Kalau EU tak mau beli sawit. Masih ada pasar di Asia Tengah & Afrika,” paparnya.