Praktik hukum dalam proses penetapan ganti rugi atas kebakaran hutan dan lahan di areal kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang berpedoman pada PMLH No 7 Tahun 2014 masih menimbulkan ketidakadilan hukum dan ketidakpastian hukum.
Dalam pandangan akademisi persoalan tersebut karena belum jelasnya norma-norma hukum tentang proses penetapan ganti rugi, standar dan ukuran kerusakan lingkungan hidup dari sisi komponen fisik, biotik dan sosial, otoritas institusi dan/atau tenaga ahli.
Ketidakjelasan lain yakni belum adanya standar dalam penetapan nilai ganti rugi kerusakan lingkungan hidup yang adil dan tepat sesuai kaidah ilmiah, dan kejelasan hukum pembuktian perbuatan melawan hukum (PMH).
Pernyataan itu mengemuka dalam diskusi bertema bertema “Eksaminasi proses hukum perkara kebakaran kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan kaidah ilmiah, di Bogor, pada pertengahan Juli 2018. Hadir sebagai pembicara antara lain, pakar hukum keuangan negara Dr Dian Puji Simatupang, pakar kebijakan/hukum kehutanan Dr Sadino, pakar valuasi ekonomi Dr Bahruni Ms dan pakar hukum Hotman Sitorus.
Mengacu pada pasal 33 UUD 1945, kata Dian, pemahaman lingkungan seharusnya tidak dimaknai sebagai dimiliki negara melainkan dikuasai negara. Kalau lingkungan diklaim sebagai milik negara, berarti harus dicatatkan dalam aset negara dan bisa diklaim biayanya.
“Hal itu juga berarti menimbulkan tanggung jawab negara untuk untuk memelihara,” kata Dian.
Menurut Dian, jika aturan itu dipaksakan seharusnya korporasi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas sesuai yang bukan miliknya, ketika terjadi suatu bencana.
Untuk mendapatkan kepastian hukum maka perlu ada batasan konseptual tentang frasa “kerugian” dalam rumusan norma hukum dan peraturan perundangan antara kerugian negara, kerugian keuangan negara dan kerugian lingkungan hidup.
“Diperlukan kejelasan rumusan norma hukum tentang dampak kebakaran sebagai “kerugian privat” dan“kerugian publik,” ujarnya.
Sementara itu, Sadino mengingatkan, jika kerusakan lingkungan dianggap sebagai kerugian negara, perlu diatur penetapan kerugian lingkungan hidup sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yakni wajar, memulihkan dan tidak menghambat kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat.