Lembaga sertifikasi Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO) mendukung petani kelapa sawit menerapkan ISPO. Pasalnya dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia pekebun atau petani sawit wajib memiliki sertifikat ISPO.
“Dalam New ISPO ini berkeinginan agar petani sawit tidak dibuat susah untuk memperoleh sertifikat. Untuk itu, harus ada upaya dari semua pihak agar petani dipermudah mendapatkan sertifikat tersebut,” ujar Direktur PT Mutu Indonesia Strategis Berkelanjutan (MISB)Rismansyah Danasaputra.
Menurut dia, ada berbagai permasalahan yang dihadapi petani sawit untuk mendapatkan sertifikat ISPO. Permasalahan terkait status lahan dan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). Dia menyebutkan bahwa pembuatan STDB semestinya dibiayai oleh APBN.
“Jadi bukan petani membayar STDB dan semestinya lebih aktif dinas perkebunan. Maka itu, petani harus membentuk koperasi atau gabungan kelompok tani (gapoktan) agar mempermudah pembuatan STDB,” kata Rismansyah.
Selain itu, kata dia, kesulitan yang dihadapi petani dalam memperoleh benih sawit unggul. Pada hal, pada saat petani mendapat benih tidak legal bisa diperbaharui salah satunya melalui program PeremajaanSawit Rakyat (PSR).
Sementara itu, dalam pra kondisi untuk mengurus sertifikasi ISPO petani dapat dilakukan pendampingan. Itu bisa dilakukan secara mandiri atau di bina langsung oleh pemerintah daerah. Dia menyebutkan, salah satu yang sudah berhasil di Provinsi Jambi dalam proses mendapatkan sertifikat ISPO. “Sehingga sertifikasi ISPO hanya dilakukan melalui dua tahap, ketika ada kekurangan syarat STDB dinasnya aktif dan langsung keluar hanya dua minggu,” ungkap Rismansyah Ketua Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia (ALSI).
Kemudian pola kemitraan antara petani dengan pabrik kelapa sawit (PKS) atau perusahaan perkebunan. Ini diakomodir dalam Perpres No 44 Tahun 2020, karena PKS yang disuplai dari petani bisa saling bekerjasama. “Terakhir pendampingan oleh pihak ketiga dan syaratnya harus membina kebun petani selama lima tahun agar siap menerapkan ISPO,” tambah dia.
Menurut dia, dari empat model ini, sekarang tinggal dipilih oleh petani. Sementara itu, dalam pembiayaan sertifikasi ISPO dapat dibebankan kepada pemerintah pusat, pihak ketiga dan pemilik PKS atau perusahaan.
Untuk itu, ia mendorong Kementerian Pertanian (Kementan) menggelontorkan dana kepetani sawit untuk pembuatan STDB. Selain itu, pemerintah daerah melalui APBD dan pihak ketiga atau LSM. “Intinya dari tahap awal hingga memperoleh sertifikat ISPO bisa dibantu pembiayaannya oleh pihak-pihak tersebut,” kata Rismansyah.
Rismansyah mengusulkan dalam pembiyaan tidak hanya untuk pengurusan sertifikat ISPO, namun pendampingan dari mulai penyiapan dokumen hingga audit lapangan. ”Petani tinggal mengajukan proposal pembiayaan kedinas perkebunan setempat atau Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit,” katanya.
Sementara itu, untuk tahap Surveillance Sertifikasi ISPO dan selanjutnya itu bisa dibiayai sendiri oleh petani. “Terpenting saat ini ada komitmen dari petani sawit untuk menerapkan ISPO,” ujar dia.
Dalam tahap audit sertifikasi misalnya dalam satu kelompok petani memiliki lahan kebun sawit 100 hektar, namun tercantum dalam STDB baru 70 hektar. Maka yang akan diberikan sertifikat ISPO seluas 70 ha dan sisanya 30 ha akan bertahap selama lima tahun. “Para auditor akan menulis sama dengan kondisi fakta di lapangan,” kata dia.
Dalam Perpres No 44 Tahun 2020 prinsip dan kriteria(P&C) ISPO akan diterapkan pada dua standar yakni untuk perkebunan dan pekebun. Pada hal sebelumnya untuk lima standar, diantaranya : perkebunan terintegrasi, kebun, pabrik kelapa sawit, biofuel, kebun plasma dan kebun plasma.
“Jadi ada perdebatan soal pekebun karena pekebun dijadikan standar. Tidak ada lagi pekebun plasma dan pekebun swadaya yang sudah berubah bentuk. Sehingga pemerintah memutuskan dua standar yakni perusahaan dan pekebun,” terang Rismansyah.
Menurut dia, prinsip dan kriteria tak perlu diubah karena tidak banyak perubahan peraturan di Indonesia. “Kita selalu berpatokan terkait dengan peraturan perundangan, sehingga P&C lama dan yang terbaru tidak jauh berbeda. Perbedaan hanya pada buku panduan saja, tapi isinya hampir 90% sama,” tandasnya.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 106)