Dr. Rio Christiawan, S.H., M.Hum., M.Kn.*
Hal terpenting yang harus dilakukan sebagai bentuk evaluasi penyelenggaraan perjanjian kerjasama berbasis pola kemitraan antara perusahaan mitra dan masyarakat mitra adalah regulasi dibidang perkebunan dan pertanahan itu sendiri mengingat hingga saat ini sejatinya masih terdapat makna yang berbeda antara kemitraan yang dimaksud dalam aturan perkebunan dan kemitraan dalam praktek administrasi pertanahan.
Kemitraan yang dimaksudkan dalam aturan perkebunan adalah pola kerjasama antara investor dan masyarakat mitra dalam bentuk dikelolanya tanah yang diserahkan masyarakat oleh perusahaan mitra.
Perjanjian kemitraan dalam perkebunan kelapa sawit pertama kali diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 469/KPTS/KB.510/6/1985 tentang pola PIR-TRANS. Pada waktu itu sejarah perjanjian kemitraan timbul mengingat sebagai salah satu pengembangan dari transmigrasi. Pemerintah memberikan lahan kepada masyarakat peserta transmigrasi dan agar lahan tersebut produktif maka dikerjasamakan dengan perusahaan mitra sebagai pengelola dan masyarakat yang menyerahkan lahan mendapat bagi hasil.
Selanjutnya perolehan lahan bagi masyarakat peserta kemitraan dan penyerahan lahan pada perusahaan mitra pengelola diatur dalam Keputusan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Nomor 85/Kep-Men/96 tentang pelaksanaan transmigrasi dengan pola kemitraan kelapa sawit.
Definisi tentang istilah kemitraan itu sendiri pertama kali diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, dalam aturan tersebut kemitraan didefinisikan sebagai kerja sama usaha yang saling memperkuat dan menguntungkan untuk memberimanfaat dan pembinaan khususnya pada masyarakat luas. Dalam perkembangannya setelah program transmigrasi berakhir pola kemitraan tetap dipertahankan sebagai pola kerja sama antara masyarakat dan perusahaan kelapa sawit mitra. Pola kemitraan setelah berakhirnya masa transmigrasi diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 tentang kemitraan perkebunan kelapa sawit.
Esensi perjanjian kerja sama pola kemitraan adalah mewujudkan kesejahteraan pada masyarakat melalui produktifnya tanah yang dimiliki oleh masyarakat dan dikelola oleh perusahaan mitra sehingga masyarakat mendapat bagi hasil atas pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Dalam hal ini harmonisasi perlu dilakukan dengan mengacu pada konsep perjanjian kerja sama pola kemitraan itu sendiri, dalam hal ini aturan di bidang perkebunan yakni Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 dan turunannya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 (terakhir diubah dengan Permentan 18/2021)
Artinya dalam hal ini Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 harus disinkronkan dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 (terakhir diubah dengan Permentan 18/2021), sehingga yang dimaksud kemitraan adalah penyerahan hak untuk dikelola dan dibagi hasilnya antara perusahaan mitra dan masyarakat mitra. Harmonisasi regulasi juga dimaksudkan agar penyerahan lahan tidak dimaknai sebagai penyerahan kepemilikan sehingga dapat diterbitkan sertipikat atas nama perusahaan mitra yang berpotensi merugikan masyarakat mitra.
Jika penyerahan lahan tidak dimaknai sebagai penyerahan kepemilikan maka lahan yang diserahkan untuk dikelola tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai tanah hak sebagaimana diatur dalamPeraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 yang artinya tidak dapat diterbitkan sertipikat atas nama perusahaan mitra. Dengan demikian maka lahan yang telah diserahkan tersebut secara kepemilikan tetap menjadi milik masyarakat sesuai dengan perjanjian kerjasama pola kemitraan.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 117)