PALANGKAYARA, SAWIT INDONESIA – Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kalimantan Tengah tentang Pengendalian Kebakaran Lahan disahkan menjadi Peraturan Daerah oleh DPRD Kalimantan Tengah (Kalteng) bersama Pemerintah Provinsi Kalteng. Aturan ini melindungi peladang dan masyarakat adat yang mempertahankan pembukaan lahan bertani dengan cara bakar. Tetapi, aturan ini melarang kegiatan pembakaran di atas lahan gambut.
Penetapan dan pengesahan perda dilakukan secara bersama antara Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran yang diwakili Wagub Kalteng Habib Ismail bin Yahya dengan Pimpinan DPRD Kalteng disaksikan oleh seluruh Anggota DPRD Kalteng serta tamu undangan dalam rapat Paripurna tersebut. Rapat Paripurna kemarin, langsung dipimpin Ketua DPRD Kalteng Wiyatno, didampingi Wakil Ketua DPRD H Jimmy Carter dan Faridawaty Darland Atjeh dalam Rapat Paripurna ke 5 masa persidangan II tahun sidang 2020, di gedung dewan, Selasa (7/7/2020).
Wakil Gubernur Kalteng Habib Ismail Bin Yahya menjelaskan bahwa perda ini merupakan payung hukum bagi masyarakat dan peladang yang membuka lahan dengan cara membakar. Dengan begitu pola membakar lahan untuk bertani bisa dijalankan masyarakat sebagai bagian kearifan lokal. Kendati begitu tetap ada koridor hukum apabila masyarakat melanggar perda tersebut.
“Harapan kami, perda ini mengurangi keluhan masyarakat bahwa pemerintah mengahalang-halangi kearifan local. Atau dikatakan tidak berpihaknya pemerintah kepada masyarakat atau petani peladang,” ungkap Habib Ismail.
Ke depan, Wagub Habib Ismail menjelaskan bahwa pemerintah setempat tetap komitmen dan berupaya mewujudkan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB). Salah satunya menyediakan infrastruktur di lapangan. “Pemerintah tidak ingin sebatas menghimbau atau melarang tanpa ada kesiapan infrastruktur di tengah-tengah masyarakat,” jelasnya.
Raperda yang akan disahkan menjadi perda ini memberikan pengecualian bagi kegiatan bertani serta berladang yang menjalankan kearifan lokal. Dalam hal ini, petani diperbolehkan membuka lahan pertanian dengan cara membakar kecuali gambut maksimal dua hektare per KK. Mereka diperbolehkan bakar lahan asalkan mendapatkan izin damang atas rekomendasi mantir adat.
Selain itu, dalam pasal 6 ayat 2 dan 3, disebutkan bahwa izin pembakaran lahan dapat diberikan syaratnya bukan tanah gambut. Satu desa diberikan batas luasan hanya 20 hektare pada hari yang sama. Tidak boleh lebih. Selanjutnya, pembakaran lahan tidak boleh dilakukan bersamaan dengan lahan lain yang berjarak satu kilometer dari lahan yang mendapat izin untuk pembakaran.
Sementara itu, Ketua Bapemperda DPRD Kalteng H Maruadi menjelaskan bahwa di dalam perda yang dibahas tersebut, diusulkan untuk para petani dan peladang, untuk mengakomodir Masyarakat Hukum Adat (MHA) di wilayah Kalteng. “Itu karena, hingga saat ini, belum ada aturan yang jelas mengakui adanya masyarakat hukum adat itu. Nah, maka muncul lah gagasan ini untuk mengakomodir mereka,” ucapnya.
Maruadi menjelaskan bahwa Masyarakat Hukum Adat yang dimaksud yakni kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu, karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum. Dirinya pun mengungkapkan, ada sejumlah peraturan yang tertera dalam raperda Dalkarla tersebut, salah satunya yakni setiap satu Kepala Keluarga (KK) yang termasuk dalam masyarakat adat diperbolehkan membuka lahan dengan cara membakar untuk lahan maksimal seluas 2 hektare. Namun dengan catatan, lahan yang diperbolehkan yakni lahan khusus yang bukan merupakan lahan gambut.
“Jika nanti ada masyarakat yang melanggar aturan ini, maka sanksinya berupa hukuman penjara selama enam bulan dan denda sebesar Rp50 juta,” tegas Maruadi.
Ia berharap melalui perda Dalkarla ini maka masyarakat petani peladang di wilayah Kalteng dapat terakomodir sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat dalam pengelolaan lahannya.