• Beranda
  • Rubrik
    • Analisis
    • Artikel
    • Berita Terbaru
    • Edisi Terbaru
    • Event
    • Hama Penyakit
    • Hot Issue
    • Inovasi
    • Kinerja
    • Oase
    • Palm Oil Good
    • Pojok Koperasi
    • Profil Produk
    • Sajian Utama
    • Seremoni
    • Sosok
    • Tata Kelola
  • Tentang Kami
  • Susunan Redaksi
  • Hubungi Kami
Facebook Twitter Instagram
Tuesday, 28 March 2023
Trending
  • Menerima Dana Tahap Awal Perdagangan Karbon
  • TBS di Kalbar Capai Harga Tertinggi Rp2.661,93/kg
  • BPDP Menginisiasi Pembentukan Sawit Learning Center (WINNER)
  • RSPO dan ISPO Bukti Sawit Berkelanjutan
  • Provinsi Kaltim Gelar Pasar Murah
  • Transisi Energi Bagi Perlindungan Lingkungan Dari Dampak Perubahan Iklim
  • BPBD Riau Mengirimkan Tim dan Peralatan Penanganan Karhutla ke Bengkalis
  • PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Menjadikan UMKM Sebagai Inti Bisnisnya
Facebook Instagram Twitter YouTube
Majalah Sawit Indonesia OnlineMajalah Sawit Indonesia Online
Subscribe
  • Beranda
  • Rubrik
    • Analisis
    • Artikel
    • Berita Terbaru
    • Edisi Terbaru
    • Event
    • Hama Penyakit
    • Hot Issue
    • Inovasi
    • Kinerja
    • Oase
    • Palm Oil Good
    • Pojok Koperasi
    • Profil Produk
    • Sajian Utama
    • Seremoni
    • Sosok
    • Tata Kelola
  • Tentang Kami
  • Susunan Redaksi
  • Hubungi Kami
Majalah Sawit Indonesia OnlineMajalah Sawit Indonesia Online
Home » Pelanggaran UU kehutanan Bukan Tipikor Melainkan Sanksi Administrasi
Berita Terbaru

Pelanggaran UU kehutanan Bukan Tipikor Melainkan Sanksi Administrasi

By Redaksi SI2 months ago6 Mins Read
WhatsApp Facebook Twitter Telegram LinkedIn Pinterest Email
Share
WhatsApp Facebook Twitter Telegram LinkedIn Pinterest Email

JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Penyelesaian keterlanjuran membangun perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan tidak bisa menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi, melainkan harus menggunakan UU Cipta Kerja dan turunan UU Cipta Kerja.

Hal itu disampaikan Pakar Hukum Administrasi Negara dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Profesor I Gde Pantja Astawa, menanggapi adanya pelanggaran UU Kehutanan yang dituduhkan kepada PT Duta Palma akibat terjadi tumpang tindih aturan ketentuan Kehutanan dengan Tata Ruang Wilayah yang diatur dalam Peraturan Daerah. Akibatnya pengurusan izinnya menjadi terhalang sejak tahun 2012.

“Karena terjadi tumpang tindih kebijakan daerah dan pusat lahirlah Undang-Undang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja ini menyatakan tidak ada sanksi pidana, hanya merupakan sanksi administratif,” kata Pantja di Pengadilan Tipikor, pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi sawitindonesia.com, Kamis (2 Februari 2023).

Pelanggaran Undang-Undang (UU) Kehutanan, tidak bisa serta merta dikategorikan tindak pidana korupsi. Hal ini sesuai UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Tetapi, menggunakan UU Cipta Kerja dan turunannya. Adanya UUCK dibuat untuk menyederhakan 79 UU yang saling berbenturan. Sehingga memudahkan perizinan serta menghilangkan kerisauan pengusaha untuk berusaha di Indonesia.

Lebih lanjut, ia menjelaskan keputusan pejabat tata usaha negara yang memberikan izin lokasi untuk penyediaan lahan perkebunan tetap berlaku. Sebab tidak ada pencabutan ataupun perbaikan, dan bukan termasuk perbuatan pidana. Keputusan kepala daerah sifatnya kongkrit dan mengikat karena bersumber dari Perda RTRW Provinsi.

“Tidak semua tindakan adalah tindakan pidana, tidak bisa serta merta dikategorikan melanggar pasal tindak pidana korupsi sebagaimana bunyi pasal 14 UU Tipikor,” jelas Pantja.

Menurutnya dalam UU Cipta Kerja ini menyatakan tidak ada sanksi pidana, hanya merupakan sanksi administratif. Karena apa, setiap perizinan yang sudah terlanjur memasuki kawasan hutan diberi waktu 3 tahun untuk membenahi memenuhi syarat-syarat agar mempunyai hak atas tanah HGU.

Baca juga :   BPBD Riau Mengirimkan Tim dan Peralatan Penanganan Karhutla ke Bengkalis

Berlakunya UU Cipta Kerja ini, sebetulnya tidak ada lagi permasalahan bagi Duta Palma. Karena sudah diakomodir UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020. Bahkan, keterangan saksi dari KLHK sudah dengan tegas menyatakan tidak boleh ada proses hukum, karena permasalahan Duta Palma sudah masuk di dalam SK Menteri Kehutanan Nomor SK.351/Menhut-II/2021 dan sudah menunggu proses oleh KLHK.

“PT Duta Palma harus menyelesaikannya dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, karena lahannya masuk kawasan hutan. Sudah diakomodir UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020,” terang Pantja.

Hal yang sama juga diutarakan Dr Chairul Huda,Ahli Hukum Pidana, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Pada pasal 2 unsur melawan hukum tidak bisa berdiri sendiri haruslah dibuktikan adanya kerugian negara dan perekonomian negara.

“Pasal ini bisa dikenakan kepada seseorang jika ditemukan dugaan perbuatan pidana dalam pengelolaan administrasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Jika berkaitan dengan pelanggaran UU kehutanan, maka bukan masuk kategori UU Tipikor,” kata Huda.

“Selain itu, untuk pelanggaran administrasi dan perizinan yang bertanggung jawab haruslah korporasi dan pengurusnya. Bukan pemegang saham sebab ia tidak ikut campur dalam kegiatan teknis perusahaan. Kemudian, lanjutnya, Pasal 3, tidak bisa dikenakan pada mereka yang tidak punya jabatan. Adanya pemberian pengaruh dan wewenang adalah hak yang dimiliki oleh pejabat negara. Sebab tidak mungkin terjadi perbuatan melawan hukum bagi mereka yang tidak punya jabatan atau wewenang,” imbuhnya dalam penjelasannya.

Permasalahan izin kebun sawit masalah administrasi

Berkaitan dengan permasalahan adanya dugaan tindak pidana yang tengah dihadapi perusahaan perkebunan, juga ditanggapi Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Dr Sadino, SH, MH. Permasalahan izin terkait bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan permasalahan administrasi, yang termasuk ke dalam Undang-Undang (UU) Kehutanan. Jika ada permasalahan izin, hal itu bukanlah merupakan tindak pidana dan tidak masuk dalam ruang lingkup perkara tindak pidana korupsi.

“Hal tersebut diatur dengan Perpu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UUCK) pada Pasal  110A. Di mana kegiatan usaha di dalam kawasan hutan dan memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan sebelum berlakunya UU ini dan belum memenuhi perinanan bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun. Jika setelah itu, baru dikenai sanksi administratif, berupa, penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif; dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha,” jelasDr Sadino dalam keterangan tertulis.

Baca juga :   BPDP Menginisiasi Pembentukan Sawit Learning Center (WINNER)

Menurutnya pelaku usaha masih diberikan waktu selama 3 tahun sejak UUCK dan Perpu 2 diberikan waktu sampai 2 November 2023 dikeluarkan untuk menuntaskan administrasi pengurusan izin dan tidak ada Tindakan pidana dan tidak juga masuk dalam ruang lingkup perkara tindak pidana korupsi.

“Sehingga permasalahan izin yang menjerat beberapa perusahaan perkebunan, seharusnya dikenakan sanksi administratif bukan sanksi pidana, karena izin adalah otoritas pemberi izin dan termasuk dalam tindakan administrasi,” kata Dr Sadino.

Penegakan hukum bagi yang sudah mempunyai hak atas tanah dengan yang baru memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan juga berbeda. Bagi yang sudah ada hak atas tanah, istilah penyelesaian kebun sawit dalam Kawasan hutan adalah tidak tepat, dan yang tepat adalah “Kawasan hutan yang masuk dalam kebun sawit” sesuai kaidah dan norma hukum sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/ 2011.

“Putusan MK telah merubah kewenangan Menteri Kehutanan agar pelaksanaan penetapan suatu kawasan menjadi kawasan hutan yang mengacu kepada Pasal 4 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tetap memperhatikan hak atas tanah yang diberikan sesuai peraturan perundang-undangan. Sejak tahun 2012, Pasal 4 ayat (3) dinyatakan tidak berlaku dan tidak mengikat. Putusan MK berlaku sejak tanggal diputuskan yang bersifaf final. Jika pengukuhan kawasan hutan mengabaikan Putusan MK, maka pengukuhan pun tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetapi Menteri malah melanggar hak konstitusional warga negara,” tambah Dr. Sadino.

Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 110A UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Yang menekankan persyaratan izin lokasi dan/atau Izin Usaha Perkebunan. Tapi pada tahap implementasi dijalankan tidak sesuai dengan semangat dan tujuan UUCK dan Perpu 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Baca juga :   RSPO dan ISPO Bukti Sawit Berkelanjutan

Selanjutnya, Dr. Sadino menjelaskan dalam menjalankan UUCK tentunya klasifikasi hak atas tanah harus diperhatikan agar tidak menyebabkan timbulnya konflik baru dalam system usaha di Indonesia. Terutama dalam insentif lahan sebagai bagian insentif kegiatan investasi.

Jika produk hukum yang diberikan oleh negara seperti Hak Atas Tanah tidak dilindungi, maka akan terjadi sengketa hukum di pengadilan antara rakyat dengan penguasa yang membuat tidak terlindunginya investasi. Produk negara akan diuji melalui sengketa di pengadilan, baik terkait hak keperdataan maupun sengketa hukum administrasi.

“Penyelesaian pemenuhan perizinan adalah bagi yang belum lengkap izinnya, jika kebun sawit yang sudah diberikan Hak Atas Tanah diperlakukan sama dengan izin tentu tidak benar dan melanggar hak konstitusi warga negara,” jelasnya.

“Dalam hukum administrasi, dikenal adanya asas hukum Presumtio Iustae Causa yang bermakna ‘setiap Putusan tata usaha negara adalah sah sampai ada putusan pengadilan atau pejabat yang berwenang membatalkannya. Tentu SK penunjukan kawasan hutan, termasuk SK penetapan kawasan hutan yang dikeluarkan oleh Menteri tidak serta merta menghilangkan hak atas tanah,” imbuh Dr. Sadino.

Sebagai contoh, pelaksanaan penegakan hukum dan penyelesaian kebun sawit seperti di Riau sudah seharusnya mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan memperhatikan asas-asas hukum dalam hukum administrasi terkait Hak Atas Tanah dan perizinan. Jika Hak Atas Tanah dan izin yang diberikan sudah sesuai dengan tata ruang, maka istilah yang tepat digunakan “penyelesaian kawasan hutan yang masuk dalam kebun sawit”.

“Dengan demikian penyelesaian kebun sawit dalam UUCK ada 2 jenis yaitu: 1. Penyelesaian kebun sawit dalam Kawasan hutan, dan 2. Penyelesaian Kawasan hutan dalam kebun sawit.,” pungkas Dr. Sadino.

Share. WhatsApp Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Email Telegram

Related Posts

Menerima Dana Tahap Awal Perdagangan Karbon

11 hours ago Berita Terbaru

TBS di Kalbar Capai Harga Tertinggi Rp2.661,93/kg

12 hours ago Berita Terbaru

BPDP Menginisiasi Pembentukan Sawit Learning Center (WINNER)

13 hours ago Berita Terbaru

RSPO dan ISPO Bukti Sawit Berkelanjutan

14 hours ago Berita Terbaru

Provinsi Kaltim Gelar Pasar Murah

15 hours ago Berita Terbaru

Transisi Energi Bagi Perlindungan Lingkungan Dari Dampak Perubahan Iklim

17 hours ago Berita Terbaru

BPBD Riau Mengirimkan Tim dan Peralatan Penanganan Karhutla ke Bengkalis

18 hours ago Berita Terbaru

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Menjadikan UMKM Sebagai Inti Bisnisnya

19 hours ago Berita Terbaru

Petani Sawit Turun ke Jalan, Protes Kebijakan Uni Eropa

1 day ago Berita Terbaru
Edisi Terbaru

Majalah Sawit Indonesia Edisi 136

Edisi Terbaru 1 month ago2 Mins Read
Event

Promosi Sawit Sehat Dan Lomba Kreasi Makanan Sehat UKMK Serta Masyarakat

Event 6 days ago1 Min Read
Latest Post

Menerima Dana Tahap Awal Perdagangan Karbon

11 hours ago

TBS di Kalbar Capai Harga Tertinggi Rp2.661,93/kg

12 hours ago

BPDP Menginisiasi Pembentukan Sawit Learning Center (WINNER)

13 hours ago

RSPO dan ISPO Bukti Sawit Berkelanjutan

14 hours ago

Provinsi Kaltim Gelar Pasar Murah

15 hours ago
WhatsApp Telegram Facebook Instagram Twitter
© 2023 Development by Majalah Sawit Indonesia Development Tim.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

Go to mobile version