JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Keputusan Komisi Uni Eropa yang menyetujui delegated act Renewables Energy Directive’s (RED II) akan berdampak terhadap sertifikat International Sustainability & Carbon Certification (ISCC). Pasalnya sertifikat ini memiliki kriteria yang mengikuti standar RED I pada 2009 silam. Selain itu, ISCC bersifat b to b untuk memenuhi kebutuhan industri biofuel di Eropa.
RED II merupakan versi amandemen RED I dimana terdapat kriteria baru seperti Indirect Land Use Change (ILUC) sebagai dasar penghitungan Gas Rumah Kaca. Dr. Rosediana Suharto, Pengamat Industri Kelapa Sawit, menerangkan sertifikat ISCC tidak lagi berlaku di Eropa karena kriterianya merujuk standar Renewable Energy Directive’s (RED) I. Setelah Komisi Eropa mengesahkan RED II, maka sertifikat ISCC harus menyesuaikan standar yang baru.
“ISCC awalnya mencari peluang untuk menunjukkan kepatuhan industri terhadap RED I. Tidak bersifat wajib, kalau pembeli minta barulah produsen sawit mengajukan sertifikat (ISCC),” ujarnya.
Bernard Riedo, Wakil Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) mengakui pemberlakuan RED II akan berdampak terhadap penggunaan sertifikat ISCC di Eropa. Pasalnya, sertifikat ISCC mayoritas dipakai untuk memenuhi kebutuhan biofuel di Eropa.
“Kalau benar CPO tidak bisa masuk untuk biofuel (di Eropa). Maka ISCC tidak ada peranan lagi karena kriteria RED II berbeda dengan RED I,” ujarnya kepada sawitindonesia.com.
Kendati demikian, Bernard berharap ada perubahan perspektif terhadap biofuel sawit, saat review RED II. Pengkajian dijadwalkan pada 30 Juni 2021 dan 2023. masih tetap sama juga. “Bisa berdampak apabila mulai dikurangi kuota (pemakaian CPO) pada 2024 pada akhirnya 2030 menjadi nol penggunaannya,” jelas Bernard.
Pada Maret lalu, Komisi Eropa memperkuat kebijakan Parlemen dan Konsil Eropa untuk menyetujui berlakunya RED II. Alhasil, kuota penggunaan CPO sebagai bahan baku biofuel akan dibatasi mulai 2024 yang secara bertahap ditargetkan menjadi nol persen pada 2030.
Rosediana menyebutkan belum adanya aturan pelaksana RED II mengakibatkan ISCC tidak dapat merevisi kriteria sertifikasinya.“Dengan adanya RED II, mereka (ISCC) ingin low ILUC. Tetapi belum bisa karena menunggu petunjuk teknis RED II ini. Jika sudah ada, sertifikat ISCC dapat disesuaikan,” paparnya.
ISCC merupakan sistem sertifikasi bertaraf internasional pertama untuk membuktikan sustainability, traceability dan penghematan dari efek gas rumah kaca untuk segala jenis produksi biomass (energi yang terbarukan), memberikan pembuktian yang positif setelah beroperasi selama setahun.
Pada Juli 2011, Komisi Eropa mengakuiISCC sebagai skema sertifikasi pertama yang mampu menunjukkan kesesuaian dengan persyaratan Uni Eropa Renewable Energy Directive’s (RED). Kabarnya, CPO bersertifikat ISCC akan mendapatkan premium sekitar US$20 – US$ 30 dolar AS per metrik ton dari harga di pasar dunia.
Di Indonesia, sejumlah grup besar sawit mengantongi ISCC antara lain Sinarmas Agri, Asian Agri, Musim Mas, dan Wilmar.