Penulis : Tim PASPI (Bagian Pertama)
Pendahuluan
Setidaknya dalam dua puluh tahun terakhir kampanye anti minyak sawit “no palm oil” yang dimotori jejaring NGO sangat intensif diberbagai negara. Berbagai isu sosial, ekonomi, kesehatan dan lingkungan dituduhkan keminyak sawit agar citraminya ke sawit terpuruk di pasar dunia. Bukan sekedar kampanye negatif terhadap minyak sawit tetapi juga kampanye untuk tidak menggunakan minyak sawit. Pemaksaan label “palm oil free” pada berbagai produk yang dihasilkan oleh industri pangan, industri kosmetik dan bahkan industri pakan ternak merupakan cara sistematis yang digunakan NGO untuk menghentikan penggunaan minyak sawit (PASPI, 2015; Kumar et al., 2015).
Kampanye penghentian konsumsi minyak sawit juga menular pada rencana kebijakan Uni Eropa yang mengkaitkan isu deforestasi dengan konsumsi minyak sawit di EU. Bahkan EU dalam kebijakan RED II memiliki rencana untuk menerapkan kebijakan phase out minyak sawit dari kebijakan renewable energy (RED-EU) paling lambat pada tahun 2030 (European Parlemen, 2017; European Commission, 2019).
Di negara-negara produsen utama minyak sawit yakni Indonesia dan Malaysia, kampanye anti sawit juga intensif dilakukan jejaring NGO baik internasional mau pun lokal. Pihak anti sawit tersebut juga memberikan tekanan kepada pemerintah untuk menghentikan ekspansi perkebunan kelapa sawit atau “No Deforestation”.
Kampanye sistematis dan masif yang dilakukan oleh NGO anti sawit untuk menghentikan konsumsi dan produksi minyak sawit tersebut memiliki argumen yang bertujuan agar deforestasi dunia berhenti. Hal ini memunculkan pertanyaan empiris. Apa yang terjadi jika masyarakat dunia mendukung NGO untuk “No Palm Oil”, “Palm Oil Free” atau “Phase Out Palm Oil” atau kampanye lainnya yang bertujuan untuk menghentikan konsumsi minyak sawit? Apa yang terjadi jika masyarakat dunia setuju atas kampanye NGO yang melarang ekspansi perkebunan kelapa sawit atau “No Deforestation”? Dan benarkah deforestasi dunia akan terhenti jika konsumsi minyak sawit berkurang atau berhenti?
Artikel ini akan mendiskusikan ketiga pertanyaan empiris yang menarik di atas. Hasil diskusi tersebut akan menentukan apakah tujuan kampanye negatif pada minyak sawit hingga kebijakan “phase out” minyak sawit sejalan dengan tujuan menurunkan deforestasi, atau justru kontra produktif dengan tujuan untuk menurunkan deforestasi global.
Minyak Nabati Yang Hemat Lahan Atau Boros Deforestasi
Empat tanaman minyak nabati utama dunia yaitu minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari merupakan suplier utama yang memasok sekitar 85-90 persen minyak nabati dunia. Menurut data USDA (2021) dan Oil World (2020), pertumbuhan luas area ke-4 tanaman minyak nabati utama dunia cukup signifikan dalam 20 tahun terakhir.
Selama periode tahun 2000-2020, luas area tanaman kedelai meningkat dari 75.5 juta hektar menjadi 127 juta hektar. Pada periode yang sama, luas tanaman rapeseed juga mengalami peningkatan dari 24.7 juta hektar menjadi 35.5 juta hektar. Disusul kemudian dengan peningkatan luas area tanaman bunga matahari yaknidari 19.7 juta hektar menjadi 27.6 juta ha. Sementara itu, luas area perkebunan kelapa sawit juga meningkat namun tidak terlalu signifikan yakni dari 10 juta hektar hanya menjadi 24 juta hektar.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 114)