JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang memuat data dan informasi (DATIN) kegiatan usaha yang terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang perkebunan berpotensi menimbulkan intimidasi terhadap para pelaku usaha perkebunan, baik perusahaan maupun petani sawit.
Hal itu diungkap Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Hukum Universitas Al Azhar Jakarta, Dr Sadino, SH, MH, dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi sawitindonesia.com, pada Selasa (17 Oktober 2023).
Dijelaskan Dr. Sadino, pihak pelaku usaha perkebunan selaku subyek hukum dalam SK DATIN, tidak pernah dimintai penjelasan berupa pemanggilan klarifikasi maupun verifikasi. “Sehingga dapat saling menjelaskan tentang sumber perizinan dari usaha yang dimiliki dan juga status kawasan yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan perkebunannya,” jelasnya.
Diketahui, saat ini telah dikeluarkan SK DATIN I — XV yang mencakup banyak subyek hukum dengan luas perkebunan sawit yang sangat luas. SK DATIN berisi subyek hukum, jenis kegiatan, lokasi kegiatan yang meliputi wilayah administratif, kawasan hutan dan kesesuaian ruang, luasan administratif areal terbuka dan skema penyelesaian sesuai UU Cipta Kerja.
Selanjutnya, Dr. Sadino menyampaikan setelah diterbitkan SK DATIN oleh Menteri LHK, maka selanjutnya Sekretaris Jenderal KLHK selaku Ketua Satuan Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengendalian Implementasi Undang-Undang tentang Cipta Kerja Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SATLAKWALDA-UUCK) segera menerbitkan surat. Hal kelengkapan data Permohonan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) melalui Skema PP No. 24 Tahun 2021.
“Jika diperhatikan dari SK DATIN dan Surat SATLAKWALDA-UUCK, maka secara prosedur harusnya dapat dikoreksi, mengingat pada saat dimasukkan ke SK DATIN tidak dilakukan klarifikasi terlebih dahulu,” terangnya.
Padahal, ujar Sadino, dengan adanya SK DATIN, telah menempatkan posisi Subyek Hukum baik pelaku usaha dari perusahaan maupun non perusahaan yang telah dicantumkan di dalam SK DATIN bersangkutan, sudah dapat menimbulkan akibat hukum bagi mereka.
“Pencantuman nama-nama subyek hukum tersebut telah memposisikan subyek hukum tidak patuh hukum dan dianggap telah melanggar hukum. Sehingga subyek hukum menerima dampak dari adanya pencantuman subyek hukum dalam SK DATIN,” tegasnya.
Selain memuat subyek hukum, SK DATIN juga memuat jenis kegiatan, lokasi kegiatan (wilayah administratif, kawasan hutan dan kesesuaian ruang), luasan administratif areal terbuka dan skema penyelesaian sesuai UU Cipta Kerja. Dilakukan secara sepihak dan diumumkan melalui surat yang tersebar kepada berbagai pihak — seharusnya perludi koreksi terlebih dahulu karenaisi SK DATIN bisa saja tidak sesuai dengan data pelaku usaha perkebunan.
“Pola pencantuman secara kelompok dalam satu SK DATIN tentunya dapat dikatakan merugikan pelaku perkebunan. Seharusnya secara administratif dapat ditempuh dengan pola interaksi pemanggilan sehingga ada fairness dalam pemuatan DATIN sebelum dimasukkan SK DATIN. Semua adalah pekerjaan pejabat pemerintah dan seyogianya dilakukan secara patut menurut hukum,” imbuh Dr. Sadino.
Maka, lanjutnya perlu dicermati pula bahwa data yang dimasukkan dalam SK DATIN hanya memuat data sepihak oleh KLHK. Padahal, pelaku usaha perkebunan mempunyai data yang berbeda dengan data DATIN mengingat kondisi di lapangan yang berbeda.
“Kondisi di Provinsi Sumatera Utara sangat berbeda dengan Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Provinsi lainnya. Begitu juga di Kalimantan kondisi lahan perkebunan di Kalimantan Barat berbeda dengan Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan juga Kalimantan Utara. Begitu di Sulawesi dan lainnya,” kata Dr. Sadino.
Bahkan, tambah Dr. Sadino pelaku usaha perkebunan yang sudah memiliki HGU saja sebelum adanyaUndang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga dimasukkan dalam SK DATIN. “Tentu Data yang ada dalam SK DATIN berpotensi merugikan pelaku perkebunan kelapa sawit,” tambahnya menegaskan.