Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta pembangunan pabrik sawit petani. Usulan ini disampaikan dalam pertemuan dengan Menko Maritim, Luhut B.Panjaitan pada pertengahan Juli 2018.
Petani merugi setelah harga buah sawit merosot di bawah Rp1.000 per kilogram pasca lebaran. Untuk mencegah kejadian ini terulang lagi, APKASINDO mengusulkan supaya ada pabrik sawit yang dikelola petani. Anizar Simanjuntak, Ketua Umum APKASINDO, mengatakan bahwa anjloknya harga disebabkan tidak adanya pabrik sawit yang dikelola kelompok petani rakyat khususnya swadaya.
“Dalam pertemuan dengan Menko Luhut, kami minta solusi melalui pembangunan pabrik sawit untuk mengatasi masalah ini. Dengan adanya pabrik sawit maka harga dapat dikatrol di tingkat petani,”ujar Anizar Simanjuntak. Tanpa adanya pabrik, harga TBS petani mudah melorot seperti saat ini menjadi Rp 700 per kilogram. Padahal, sebelum lebaran harga masih bertengger Rp 1.600 per kilogram.
Senada dengan Anizar. Gulat Manurung, Ketua DPW APKASINDO Provinsi Riau, menyatakan tanpa adanya pabrik sawit maka petani tidak akan sejahtera. Karena selama ini pabrik hanya dikelola oleh pihak swasta sehingga dapat mengontrol harga di tingkat petani. Walaupun sudah ada harga rujukan di level provinsi. Maka tidak ada solusi lagi selain petani swadaya memiliki pabrik pengolahan mandiri dengan menggunakan kredit bantuan dana tersebut.
Pabrik sawit yang diusulkan APKASINDO berkapasitas 30 ton TBS per jam. Nilai invetasi mencapai Rp 120 miliar. Apabila pinjaman dari China Development Bank benar terealisasi, maka kredit dapat dilunasi dalam jangka waktu 4 tahun. Sebelumnya di rapat Mei kemarin, Menko Luhut menginformasikan tawaran dari pinjaman China sebesar US$15 milliar untuk peremajaan lahan sawit seluas 2,5 juta hektare.
Hadir dalam rapat ini antara lain pengurus APKSINDO yaitu Rino Afrino (Wasekjen), Gulat Manurung (Ketua DPW APKASINDO Riau), Sumyoto (Ketua DPW APKASINDO Kalimantan Timur), dan Suhendri (Sekretaris APKASINDO Kalimantan Utara). Selain itu hadir pula Prof. JW Saputro (1945 Institute) dan Budi Kuncoro (Pakar Keuangan).
Menko Luhut mengapresiasi usulan pengurus APKSINDO berkaitan pembiayaan kepada usaha pertanian sawit rakyat. Tetapi mengajukan pinjaman China Development Bank, Luhut meminta ada pilot project yang jelas untuk kegiatan peremajaan dan pabrik. Pembiayaan proyek ini dapat memanfaatkan dana bantuan UNDP sebesar US$ 1 miliar.
“Pinjaman China ini dapat gede, kita harus berhati-hati juga. Tapi saya mau dana ini tidak hanya untuk pengusaha melainkan mix kalian juga (petani),” ujarnya.
Sebagai tindak lanjut, Menko Luhut meminta dibuat tim kecil untuk mengkaji pembiayaan replanting dan pembangunan pabrik sawit. Tim ini akan berisi staf Menko, perwakilan APKASINDO,dan Prof. JW Saputro.
Gulat Manurung mengakui pabrik sawit sangat penting bagi petani supaya tidak lagi menjual buah. Selama ini, pabrik lebih banyak dimiliki sektor swasta dan penetapan harga berdasarkan keputusan pabrik. Oleh karena itu, solusinya adalah petani swadaya memiliki pabrik pengolahan mandiri dengan menggunakan kredit bantuan dana tersebut.
Gulat juga menyampaikan kesempatan petani sawit mempunyai pabrik sawit terhambat Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 29 Tahun 2016, sebagai revisi dari beleid sebelumnya Permentan No. 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Penyebabnya, kata Gulat, penghapusan pasal yang memberikan peluang pembangunan pabrik kelapa sawit tanpa kebun. Pun, ada penghapusan klausul bagi pelaku perkebunan untuk mendirikan pabrik dengan suplai TBS minimal 20% (kebun inti) dari kebutuhan pabrik pengolahan. Sedangkan, sisanya sekitar 80% pasokan TBS berasal dari kemitraan dengan petani swadaya sekitar pabrik.
Dalam pertemuan tersebut, Menko Luhut Panjaitan menyampaikan kepada Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo) terkait tawaran pendanaan dari United Nation Development Program [UNDP] sebesar US$1 Miliar untuk pembangunan pabrik pengolahan sawit, peremajaan dan pembangunan infrastruktur.
Anizar Simanjuntak menuturkan bahwa pendanaan tersebut merupakan bantuan kepada petani khususnya swadaya. Dengan adanya bantuan ini diharapkan menyelesaikan masalah membangun pabrik.
Sebelumnya adalah China yang menawarkan kredit mikro sebesar US$15 milliar oleh China untuk peremajaan kelapa sawit untuk lahan seluas 2,5 juta ha.“Tapi dalam pertemuan ada informasi pendanaa UNDP. Skemanya bantuan business to business kepada petani. Pilihan memang ada dua tapi paling cepat sepertinya dari UNDP menurut Pak Menko,” kata Gulat.