JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Memasuki awal 2022, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) ikut prihatin dengan tingginya harga minyak goreng (migor). Pasalnya, minyak goreng merupakan sembilan bahan pokok yang menjadi kebutuhan utama masyarakat.
Merujuk data resmi Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) per 31 Desember 2021, harga minyak goreng curah naik 0,28 persen menjadi Rp 17.800 per kilogram.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Airlangga Hartarto menjelaska pergerakan kenaikan harga minyak goreng dipengaruhi harga minyak crude palm oil (CPO). Kondisi serupa dialami negara tetangga seperti Malaysia.
“Yah kita tahu belakangan ini harga CPO atau minyak sawit juga meningkat. Memang pasca Covid-19 terjadi recovery sangat cepat. Kenaikan bukan hanya di minyak tapi logam atau bahan bakar juga serupa,” ungkap Airlangga.
Menurutnya, pemerintah mendorong pelaku usaha untuk menyediakan minyak kemasan sederhana sebanyak 11 juta liter seharga Rp14.000 per liter baik di ritel modern maupun langsung ke masyarakat melalui operasi pasar.
“Operasi pasar minyak goreng merupakan komitmen nyata Pemerintah dalam menjaga stabilisasi harga barang kebutuhan pokok masyarakat terutama menjelang Natal dan Tahun Baru 2022,” kata Airlangga dalam keterangan
Wakil Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), Bidang Pengembangan Usaha, Siswanto, SP.,C.APO, mengatakan operasi pasar tidak akan menyelesaikan masalah, harus ada solusinya untuk jangka panjang.
“Jangan sampai terjadi penilaian naiknya harga CPO malah menyusahkan masyarakat. Padahal negara sangat tergantung kepada ekonomi sawit saat ini dan di masa depan. Kenaikan harga TBS petani sering menjadi sasaran cibiran. Lantaran masyarakat umum menilainya sebagai penyebab melonjaknya harga migor,” jelas Siswanto ketika di hubungi dari Palu, Sulawesi Tengah melalui telepon
Ia mengakui bahwa harga TBS sedang naik sekitar 42,47% dari harga awal tahun 2021, namun sejak pertengahan tahun 2021 praktis kenaikan harga TBS tidak dirasakan petani sebagaimana harapan kami. Hal ini dikarenakan “menggilanya” kenaikan harga pupuk dan herbisida sampai 160% jika dilevel pengecer. Tentu saja kenaikan harga pupuk dan pestisda sudah melebihi kenaikan harga TBS, sehingga biaya pokok produksi ikut naik sekitar 56%.
Terkait kenaikan harga minyak goreng, dikatakan Siswanto, memang dipengaruhi harga CPO Dunia sebagai bagian hukum ekonominya. Namun, pemerintah harus mengambil peran untuk menstabilkan harga migor yang sifatnya berkelanjutan.
Data Bappenas (2021), kebutuhan minyak goreng untuk masyarakat Indonesia 3,22 juta liter, tentu ini bukan jumlah yang sedikit jika dibandingkan dengan produksi CPO Indonesia di 2021 sebesar 53,8 juta ton.
Siswanto mejelaskan bahwa, Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Gulat Manurung, sudah memberikan arahan dan keterangan resmi perihal polemik harga minyak goreng dan kaitannya terhadap harga CPO.
Pertama, menghitung ulang Harga Pokok Produksi (HPP) 1 liter migor. Kedua, mewajibkan Ekportir CPO mengalokasikan kecukupan bahan dasar migor nasional.
Ketiga, membuat kemasan kluster Migor menjadi tiga kelompok yaitu premium (kualitas tinggi), standar, dan migor gotong royong (Migor-GR).”Langkah ini butuh kerjasama dengan produsen Migor Nasional,” urainya.
Keempat, sebaiknya Kementerian Koperasi dan UKM mempelopori industri skala rumah tanggi minyak goreg yang dikelola oleh UKMK;
Kelima, memberikan insentif kepada masyarakat melalui dana pungutan ekspor.”Pemberian insentif dari PE (Pungutan Ekspor CPO) adalah pilihan terakhir,”katanya.
“Strategi satu sampai empat tadi pasti clear. Namun pilihan memberikan insentif adalah opsi terakhir,” pungkas Siswanto.