JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah Indonesia diminta tidak menutup mata dengan teknologi pemanfaatan dan pengelolaan gambut yang sudah berjalan di negara lain. Tidak semua lahan gambut harus berfungsi konservasi karena ada pula karakter tanah gambut yang cocok unuk kegiatan budidaya. Negara seperti Tiongkok, Malaysia dan Eropa memanfaatkan gambut bagi perekonomian mereka.
Dalam kesempatan terpisah, Basuki Sumawinata, Pakar tanah dan gambut dari Insitut Pertanian Bogor menyebutkan kegiatan pertanian serta perkebunan di lahan gambut sudah memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan kepada perekonomian negara dan masyarakat. Itu sebabnya, kegiatan budidaya di lahan gambut sebaiknya tidak dihentikan begitu saja.
Dengan luas lahan gambut mencapai 15 juta hektare, sesungguhnya pemanfaatan gambut untuk pertanian tradisional di Sumatera dan Kalimantan telah berjalan turun temurun. Selanjutnya, penggunaan gambut bagi usaha pertanian juga berkembang di sektor usaha perkebunan dan hutan tanaman industri.
“Tidak semua pengelolaan kegiatan di lahan gambut berhasil. Justru, kita harus belajar dari kesuksesan daerah maupun negara lain yang sukses kelola gambut,” kata Basuki.
Tuduhan yang mengaitkan kebakaran lahan dengan penggunaan lahan gambut tidaklah tepat. Sebab, kata Basuki, proses kebakaran dapat terjadi karena faktor sumber api, bahan yang mudah terbakar, dan lingkungan.
Di seluruh dunia, luas gambut dunia diperkirakan sekitar 300 juta hektare. Sebaran gambut terbesar di negara Eropa seperti Rusia, Skandinavia (Norwegia, Swedia, Finlandia), Irlandia, Polandia, Jerman utara, Belanda. Selain, berada di Amerika Serikat serta Kanada.
Bagi negara Eropa, gambut digunakan sebagai bahan untuk memasak dan pemanas rumah tangga. Basuki mengatakan sekitar 60% lahan basah di dunia adalah gambut dan sekitar 7% dari lahan-lahan gambut itu telah dibuka dan dimanfaatkan untuk bahan bakar, pertanian dan kehutanan.
Dalam International Peat Congress ke-15 di Serawak, Kongres yang mempertemukan kalangan akademisi, peneliti, pemerintah, asosiasi bisnis dan LSM dari berbagai negara belahan dunia ini menampilkan perkembangan terbaru potensi gambut dan teknologi pengelolaan yang benar sesuai kaidah lingkungan. Presentasi pakar serta ahli gambut dalam Kongres yang berlangsung dari 16-19 Agustus 2016 dapat menjadi rujukan pemangku kepentingan di Indonesia yang sedang merumuskan kebijakan berkaitan gambut.
Negara seperti Tiongkok bahkan menyatakan niatan untuk membangun industri gambut terbesar di dunia. Negeri Tirai Bambu ini berkeinginan menggunakan gambut sebagai bahan baku industri pupuk berbasis organik.
Seperti dijelaskan Xiancheng Zeng, perwakilan dari China Humic Acid Industry Association, ada sejumlah pertimbangan dalam pemanfaatan gambut ini, pertama aspek konomi. Gambut digunakan oleh Pemerintah China menjadi menjadi salah satu basis industri di China.
“Salah satu yang akan dikembangkan yakni pabrik pupuk berbasis organik, termasuk dari gambut,” kata Xiancheng dalam presentasi berjudul “Masa Depan Industri Gambut di China”, seperti dilansir dari kompas.com.
Faktor kedua adalah sosial karena pemerintah Tiongkok mengizinkan dua anak per pasangan. Diperkirakan total populasi China menjadi 1,6 miliar dalam lima tahun mendatang. Oleh sebab itu, China perlu kebutuhan dasar untuk makanan sehingga mereka harus menggunakan semua sumber daya yang ada, termasuk lahan gambut.
Alasan ketiga, yakni alasan lingkungan. “Dengan mengembangkan industri berbasis gambut, diharapkan akan membangun industri yang lebih ramah lingkungan. Ini penting untuk mengharmonisasi kehidupan di China,” ujar Zeng.
Saat ini, pelaku industri di Tiongkok pelaku industri gambut di tingkat UKM. Itu sebabnya, mereka membuka kerja sama dengan banyak negara untuk pengembangan industri gambut ini.
Di Sarawak seperti dikatatakan Amar Abdul Hamed bin Haji Sepawi, Chairman Sarawak Oil Palm Plantation Owners Association, menyebutkan gambut termasuk tanah yang dapat menjadi media tanam. Memang dulu, kegiatan budidaya di lahan gambut sulit dilakukan karena teknologi yang membantunya belum ada. “Tapi sekarang, sudah ada teknologi yang bisa membantu pemanfaatan gambut bagi kegiatan perekonomian,” tegasnya.
Pendapatan negara bagian Malaysia tersebut secara langsung sawit di lahan gambut mencapai 400 juta RM-500 juta RM per tahun. (Qayuum)