Pada 20 Januari 2016, Nazir Foead resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Badan Restorasi Gambut. Tugas yang diembannya tidaklah mudah karena harus merestorasi lahan gambut rusak di Indonesia. Diperkirakan luas gambut yang direstorasi mencapai 2,6 juta hektare. Dalam wawancara dengan Majalah SAWIT INDONESIA pada 4 Februari 2016, dia mengaku masih menunggu penetapan deputi di lembaganya.
“Kalau sudah ada deputi, baru kita bisa membicarakan program ke depan. Begitu timnya telah terbentuk barulah kita menyusun program. Sementara di dalam perpres (badan restorasi gambut) masih bersifat general seperti pemetaan ,” kata Nazir.
Dalam perpres Nomor 1 Tahun 2016 mengenai Badan Restorasi Gambut disebutkan bahwa Kepala BRG akan didampingi empat deputi yaitu Deputi Bidang Perencanaan dan Kerja Sama, Deputi Bidang Konstruksi Operasi dan Pemeliharaan, Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan, berikutnya Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan.
Nazir Foead menjelaskan bahwa lembaganya akan membangun komunikasi dengan berbagai pihak seperti kementerian, pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat. Dalam pandangannya, kebijakan perlindungan gambut respon menerima positif dunia internasional. “Terbukti dalam COP21, Indonesia tidak mendapatkan hujatan dunia internasional. Mereka berpandangan ini pemerintahan baru tetapi sudah mengambil kebijakan yang tepat. Tantangan terletak pada implementasinya,” ungkap Nazir.
Selain itu, dia berjanji untuk bertemu asosiasi bisnis untuk membahas program restorasi gambut ini pasca pelantikan deputi BRG. “Restorasi harus jalan tetapi ekonomi tidak boleh berhenti,” tegasnya.
Ketika ditanya perihal kedekatan dirinya dengan Presiden Jokowi sehingga dapat terpilih menjadi Kepala BRG. Dia menjawab baru pertama kali bertemu Presiden Jokowi dalam pertemuan aktivis LSM lingkungan dengan presiden di Istana Negara, pada pertengahan Oktober 2015.
“Di sana, saya pertama kalinya bertatap muka dengan presiden. Setelah itu, tidak pernah ketemu lagi. Sebelum diangkat menjadi Kepala BRG, barulah saya bertemu Presiden untuk berdiskusi,” ujar Lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada pada 1992.
Kepada dirinya, Joko Widodo berpesan supaya lembaga yang dipimpinnya dapat bersinergi dan serasi dengan kementerian terkait. “Pak Jokowi minta saya jangan sampai tidak bisa bekerjasama dengan kementerian terkait”.
Nazir optimis bahwa lembaganya mampu menjalankan tugas untuk berkoordinasi dan menjalankan restorasi gambut bersama kementerian terkait. “Setelah pelantikan, Bu Siti (Menteri LHK) menawarkan kepada saya untuk menggunakan pos anggaran yang berkaitan dengan program BRG. Ini dorongan positif buat kami,” kata Nazir sambil tersenyum.
Berikut ini petikan wawancara Qayuum Amri, Pemimpin Redaksi Majalah SAWIT INDONESIA dengan Nazir Foead, yang bertempat di Gedung Sekretariat Negara, Jalan Veteran III, Jakarta Pusat, selam satu jam lamanya:
Apa rencana Badan Restorasi Gambut pada tahun ini?
Jadi, saya baru dilantik pada 20 Januari 2016, dan masih tunggu pelantikan deputi. Sudah muncul beberapa ide mengenai beberapa program ke depan. Kalau baca perpres Nomor 1 Tahun 2016 mengenai Badan Restorasi Gambut artinya saya harus tunggu deputinya karena mereka yang akan menjalankan program.
Semuanya masih dalam tahap pertimbangan begitu sudah terbentuk tim barulah diskusi besar. Dan mereka juga bisa punya pandangan risetnya harus seperti ini dan masyarakatnya harus seperti ini. Makanya saya harus menunggu untuk berdiskusi dengan mereka. Sedangkan, yang yang sekarang masih secara general di dalam Perpres dimana harus membuat pemetaan. Peta menginformasikan kedalaman dan luas gambut. Selain itu, akan menetapkan dimana zona lindung dan zona budidaya sesuai Perpres.
Ada beberapa peta yang harus dibuat sampai kita berani ambil keputusan ini adalah zona lindung dan ini zona budidaya. Karena kita tahu konsekuensi kalau sudah jadi zona lindung kan sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Pembuatan peta gambut mesti memperhatikan siapa yang sudah punya izin di lahan tersebut, apakah berstatus hutan atau APL dan hutan adat.
Kerja restorasi juga harus melihat hidrologi, harus liat air mengalirnya kemana. Jadi kalau mau ditutup ya kanal yang sebelah mana, berapa sekat per kanal. Dan itu harus buat pemetaan yang berbeda harus lebih detil karena melihat topografinya.
Ini semua harus dilihat, dikonsultasikan dan disepakati karena budidaya juga harus berubah sesuai dengan lahan gambut basah. Kalau gambut dalam keadaan kering akan mengundang resiko kebakaran lagi makanya harus lembab.
Kemudian harus buat monitoring, ketika kita buat konsesi mana yang harus menjadi budidaya mana yang tidak sesuai pemetaan. Semua ini proses dilakukan dengan membuat konsesus dengan Pemda, pemilik konsesus, dan masyarakat, sampai persetujuan.
Apakah perusahaan membuka ruang untuk berkomunikasi dengan perusahaan?
Setelah terbentuknya deputi, kami akan bertemunya asosiasi untuk mendengarkan aspirasi mereka. Saya ingin berdialog dengan perusahaan yang tidak lagi buka gambu dan melindungi HCV. Nah, itu juga saya mau tanya bagaimana caranya dan berapa luasnya. Dan kalau itu bisa dicanangkan akan menjadi bagian program pemerintah. Dan akan dikerjakan bersama juga.
Kalau pengelolaan restorasi itu milik perusahaan saya berharap perusahaan melakukan dengan sumber dayanya. Tapi metode bisa dari BRG. Kami (BRG) juga harus belajar dari LSM, masyarakat, maupun perusahaan yang merestorasi gambut dan katanya sukses. Selain efektivitas juga harus melihat biayanya, kalau bisa serendah mungkin dan pemeliharaannya juga mudah, kalau pasang sekat tidak rusak ketika banjir, itu semua harus dilihat.
Dalam pandangan anda, apa tantangan terberat yang akan dihadapi Badan Restorasi Gambut?
Pemetaan itu beratnya adalah pertama harus menyetujui metodologi, kemudian pelaksanaannya juga tidak murah dan membutuhkan tenaga banyak. Tapi itu kendala teknis yang tidak sulit diselesaikan. Kendala terberat adalah membangun kesepakatan dengan pihak-pihak yang telah memiliki lahan termasuk pemda, perusahaan dan masyarakat.
Banyak yang berpandangan bahwa kegiatan ekonomi sulit dilakukan apabila restorasi berjalan?
Jadi, di satu sisi restorasi harus jalan sementara di sisi lain ekonomi tidak boleh berhenti. Makanya saya sangat ingin membuat riset dengan ahli gambut, ahli pertanian ditambah ahli ekonomi. Kalau, kita punya gambut sedang direstorasi maka tidak boleh lagi ditanam seperti sekarang karena tanaman seperti sekarang butuh lahan kering ditaruh di lahan basah dia tidak kena. Kita ganti tanaman yang cocok di lahan basah tapi punya profit. Meskipun profitnya tidak sebesar sawit.
Tapi silakan sawit di lahan kering saja, lahan gambut untuk tanaman lain. Sambil kita ambil cara financing karena ada jutaan dollar untuk carbon financing. Pertama yang kita jual itu komoditasnya berikutnya karbon. Kalau tanaman pertaniannya jelas butuh modal, kita hitung kalau tanam jenis A, itu harga bahan baku mentah berapa, pasar berapa butuh berapa, kemudian kalau diolah menjadi produk jadi harganya berapa, dan butuh investasi berapa untuk bangun pabrik pengolahannya.
Lalu seberapa mahal ongkos transportasinya. Dan tentunya pemerintah harus investasi APBN untuk infrastruktur. Misalkan berhasil dapat investor kita harus yakinkan infrastruktur dibangun dengan APBN. Jadi investasi lebih cepat balik. Dan kita harus berpikir kreatif kalau banyak masyarakat yang terlibat tentu dengan KUR dimana suku bunga bisa lebih rendah.
Bagaimana dengan tanaman sawit yang terlanjur berada di lahan restorasi?
Coba anda diskusi dengan Wetland International, Pak Nyoman dan timnya. Akhir tahun lalu, mereka menerbitkan laporan bahwa apabila gambut sudah terlanjur ditanami sawit atau akasia , ya tidak apa-apa tetapi dalam siklus tertentu atau tahun ke ke berapa mesti keluar.
Jadi gambutnya sedang direstorasi, sembari direstorasi orang masih bisa tanam. Tapi di siklus tertentu apakah 10, 15, atau 20 tahun tanaman sawitnya bisa diganti karena air mungkin sudah sampai akar. Jadi ganti tanaman yang memang hidup di gambut. Nah itu usulan yang kompromis, jadi restorasi berjalan tapi tanaman pokok masih bisa hidup hanya sampai siklus tertentu.
Restorasi gambut ditargetkan mencapai 2 juta hektare dalam waktu lima tahun. Darimana angka ini ?
Dari Kementerian LHK (Lingkungan Hidup danKehutanan) bahwa kemarin yang terbaru itu ada 2,6 juta hektare. Tapi dari 2,6 juta hektare sekitar 900 ribu hektare gambut yang terbakar pada 2015. Banyak versi yang menyatakan berapa total luas gambut indonesia. Tapi katakanlah 20 juta hektar, dari 20 juta hektar itu setengahnya dalam keadaan rusak. Jadi kalau 2 juta kita restorasi baru 20 persen dari totalnya.
Kalau kita tidak mau ada kebakaran lagi idealnya 10 juta yang masih bagus harus dipertahankan. Sementara itu, 10 juta hektare yang rusak harus direstorasi. Bukan berarti pembangunan stop karena masih ada fungsi lindung dan budidaya.
(Lebih lengkap baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Februari – 15 Maret 2016)