Penulis: Dr. Tungkot Sipayung (Direktur Eksekutif PASPI)
Setidaknya dalam dua puluh tahun terakhir kampanye anti minyak sawit yang dimotori jejaring NGO sangat intensif di berbagai negara. Berbagai isu sosial, ekonomi, kesehatan dan lingkungan dituduhkan ke minyak sawit agar citra minyak sawit terpuruk di pasar dunia.
Bukan sekadar kampanye negatif terhadap minyak sawit tetapi juga kampanye untuk tidak menggunakan minyak sawit atau “no palm oil”. Pemaksaan label “palm oil free” pada berbagai produk industri pangan global, industri kosmetik dan bahkan industri pakan ternak, merupakan cara sistematis menghentikan penggunaan minyak sawit.
Kampanye penghentian konsumsi minyak sawit juga menular pada rencana kebijakan Uni Eropa yang mengkaitkan isu deforestasi dengan konsumsi minyak sawit di EU. Bahkan EU dalam kebijakan RED II merencanakan kebijakan penyingkiran (phase out) minyak sawit dari REDEU paling lambat tahun 2030.
Di negara-negara produsen utama minyak sawit khususnya Indonesia dan Malaysia, kampanye anti sawit juga intensif dilakukan jejaring NGO. Bahkan melakukan tekanan kepada pemerintah untuk menghentikan ekspansi perkebunan kelapa sawit atau “Nol Deforestation”.
Kampanye untuk penghentian konsumsi dan produksi minyak sawit tersebut bertujuan agar deforestasi dunia berhenti. Hal ini memunculkan pertanyaan publik. Apa yang terjadi jika masyarakat dunia mendukung NGO untuk “no palm oil”, “palm oil free” atau “phase out palm oil RED-EU? Apa pula yang terjadi jika masyarakat dunia setuju atas kampanye NGO yang melarang ekspansi perkebunan kelapa sawit atau “Nol Deforestation”? Benarkah deforestasi dunia akan terhenti jika konsumsi minyak sawit berkurang atau berhenti?
Hemat Lahan/Deforestasi
Empat tanaman minyak nabati utama dunia yang memasok sekitar 85- 90 persen minyak nabati dunia yakni kelapa sawit, kedelai, rapeseed dan sunflower. Dalam 20 tahun terakhir pertumbuhan luas area ke 4 tanaman minyak nabati utama dunia tersebut sungguh menyakinkan.
Luas area kedelai dunia meningkat spektakuler dari 75.5 juta hektar tahun 2000 menjadi 127 juta hektar tahun 2020. Pada periode yang sama luas tanaman rapeseed meningkat dari 24.7 juta hektar menjadi 35.5 juta hektar. Tanaman sunflower meningkat dari 19.7 juta hektar menjadi 27.6 juta ha. Sedangkan luas area kelapa sawit hanya meningkat dari 10.03 juta hektar menjadi 24 juta ha (USDA, 2021).
Pada ekspansi areal keempat tanaman minyak nabati dunia tersebut, umumnya dilakukan dengan deforestasi (dengan berbagai definisi) baik secara langsung maupun tidak langsung, pada era baik sebelum tahun 2000 maupun sesudah tahun 2000. Hal ini berarti sampai pada tahun 2020, deforestasi oleh tanaman soybean dunia lebih dari 5 kali kelapa sawit dunia. Sementara deforestasi oleh tanaman rapeseed dunia hampir 1.5 kali kelapa sawit dunia. Sedangkan deforestasi oleh tanaman sunflower dunia sekitar 1.2 kali kelapa sawit dunia. Bukankah tanaman soybean, rapeseed dan sunflower lebih banyak melakukan deforestasi hutan dunia?
Mari kita diskusikan hasil dari deforestasi tersebut yakni minyak nabati yang dihasilkan. Tanaman minyak nabati apa yang paling efisien atau paling hemat menggunakan lahan.
Berdasarkan data tahun 2020 produksi minyak nabati dunia adalah minyak kedelai sebesar 58.7 juta ton, minyak rapeseed 27.3 juta ton, minyak sunflower 21.5 juta ton dan minyak sawit 83.5 juta ton.
Jika dihitung dalam produktivitas minyak per hektar, produktivitas kelapa sawit (CPO + CPKO) mencapai 4.3 ton per hektar. Sementara produktivitas rapeseed, sunflower dan soybean berturut-turut hanya 0.7, 0.52 dan 0.45 ton per hektar. Produktivitas kelapa sawit hampir 10 kali produktivitas tanaman soybean, lebih 8 kali produktivitas tanaman sunflower dan lebih 6 kali produktivitas tanaman rapeseed.
Fakta-fakta diatas menunjukkan bahwa kelapa sawit adalah tanaman minyak nabati dunia yang paling hemat menggunakan lahan (land saved). Sedangkan soybean adalah tanaman minyak nabati yang boros gunakan lahan atau boros deforestasi.
“No Palm Oil”
Lantas apa yang terjadi jika kampanye NGO dan jejaringnya untuk “no palm oil” atau “palm oil free”, dan “phase out palm oil RED-EU” didukung masyarakat dunia?
Dalam konteks ini kombinasi kampanye “no palm oil”, “palm oil free” dan “phase out palm oil RED-EU” berdampak pada turunnya konsumsi minyak sawit secara signifikan. Penurunannya dapat gradual namun bisa juga terjadi kondisi ekstrim yakni masyarakat dunia memilih untuk tidak mengkonsumsi minyak sawit.
Berdasarkan data diatas, volume minyak sawit pada tahun 2020 adalah 83.5 juta ton. Jika diberlakukan “no palm oil”, “palm oil free” atau “phase out palm oil RED-EU diberlakukan, maka minyak kedelai, rapeseed dan sunflower harus mengganti 83.5 juta ton minyak sawit secara proporsional dari yakni 54 persen dari minyak soybean, 25 persen dari minyak rapeseed dan 21 persen dari minyak sunflower.
Jika pengganti minyak sawit secara proporsional demikian maka tambahan areal kedelai dunia yang diperlukan adalah seluas 112 juta hektar, tambahan 30 juta hektar areal rapeseed dan tambahan 25 juta hektar areal sunflower.
Dengan demikian untuk mengganti minyak sawit dunia tahun 2020 saja, negara-negara produsen kedelai, rapeseed, sunflower harus melakukan deforestasi seluas 167 juta hektar.
Nah, data-data tersebut menunjukkan dampak dari jika masyarakat dunia mau mengikuti kampanye anti sawit NGO. Bukankah menghilangkan minyak sawit sama artinya memicu deforestasi dunia lebih luas? Pada posisi tahun 2020, setiap pengurangan 10 persen minyak sawit dunia akan dibayar dengan deforestasi dunia seluas 12-20 juta hektar.
“Nol Deforestation”
Bagaimana jika produksi minyak sawit saat ini tidak boleh lagi di perluas sebagaimana kampanye NGO lingkungan “Nol Deforestation” pada kelapa sawit? Atau moratorium ekspansi kelapa sawit dilakukan secara internasional. Dalam konteks ini “Nol Deforestasi” sebagaimana kampanye NGO hanya berlaku bagi kelapa sawit namun tidak berlaku bagi kedelai, rapeseed dan sunflower.
Tingkat konsumsi minyak nabati dunia saat ini adalah sekitar 19 kg per kapita FAO-OECD (2015). Jika tahun 2050 diasumsikan konsumsi minyak nabati dunia meniadi 26 kg/kapita (kira-kira sama dengan konsumsi per kapita negara maju saat ini), dengan perkiraan jumlah penduduk tahun 2050 sebesar 10 miliar orang, maka menuju tahun 2050 masyarakat dunia memerlukan tambahan 70 juta ton minyak nabati. Bagaimana memenuhi kebutuhan minyak nabati tersebut?
Jika tambahan minyak nabati sebesar 70 juta ton tersebut dipenuhi secara proporsional seperti sebelumnya maka menuju tahun 2050 tambahan ekspansi area soybean seluas 96 juta hektar, ekspansi tambahan area rapeseed yang diperlukan seluas 25 juta hektar dan tambahan area tanaman sunflower seluas 21 juta hektar.
Dengan kata lain jika masyarakat dunia mengikuti kampanye NGO “no deforestation” bagi perkebunan kelapa sawit, maka masyarakat dunia harus merelakan terjadinya deforestasi hutan dunia seluas 142 juta hektar untuk perluasan soybean, rapeseed dan sunflower. Bukankah menghentikan ekspansi kebun sawit juga akan memicu deforestasi hutan dunia yang lebih luas?
Setiap pelarangan ekspansi kebun sawit 10 persen, deforestasi dunia bertambah seluas 14 juta hektar untuk ekspansi kedelai, rapeseed dan sunflower.
Sebaliknya jika tambahan kebutuhan minyak sawit dunia menuju 2050 dipenuhi dari minyak sawit, maka cukup ekspansi kebun sawit seluas 16 juta hektar. Itu berarti masyarakat dunia menghemat deforestasi hutan dunia seluas 126 juta hektar. Bahkan penghematan deforestasi bisa lebih besar dengan meningkatkan produktivitas minyak sawit yang masih sangat memungkinkan.