Ketatnya regulasi pemerintah dan persaingan dengan sektor usaha lain, menjadikan investor kelapa sawit tidak lagi mudah untuk mendapatkan lahan baru yang cocok dijadikan perkebunan. Itu sebabnya, banyak pelaku usaha yang giat mencari lahan di wilayah baru seperti Sulawesi dan Papua.
Pemerintah mendorong perusahaan sawit supaya aktif memperkuat kegiatan intensifikasi sebagai faktor pendorong peningkatan produksi. Kendati demikian, intensifikasi bukanlah hal mudah untuk dilakukan bagi perkebunan yang existing dan berumur tua, lantaran mesti menunggu masa replanting dulu. Tim SAWIT INDONESIA berkesempatan bertemu dengan Muhammad Sofian, Plantation Director of OSO Grup di kantornya, pada akhir Januari 2013. Berikut ini petikan wawancara kami dengan pria yang berpengalaman di perkebunan sawit selama 20 tahun lebih:
Saat ini, pemerintah mendorong pengusaha kelapa sawit untuk menerapkan intensifikasi ketimbang ekstensifikasi. Bagaimana pendapat bapak mengenai wacana ini?
Sebagai gambaran, produktivitas CPO Indonesia sekitar 3,7 ton per hektare. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Malaysia yang sudah melewati 4 ton per hektare. Artinya, intensifikasi itu dapat dilakukan tetapi dengan syarat perlu menunggu masa peremajaan tanaman sawit (replanting). Itupun, luas lahan yang diremajakan tidak akan sebesar yang diharapkan.
Keinginan pemerintah yang mencanangkan produksi CPO mencapai 40 juta ton pada 2020. Kalau melihat perkembangan sawit sekarang ini, tampaknya target ini akan sulit tercapai. Masalahnya, sejak ada moratorium itu perluasan kelapa sawit hanya 220 ribu hektare yang berarti tidak sebesar sebelum moratorium diterapkan mencapai 500 ribu hektare.
Total luas lahan kelapa sawit hingga tahun ini diperkirakan 9 juta hektare. Untuk mencapai produksi 40 juta ton itu, lahan kelapa sawit nasional yang dibutuhkan idealnya 10,8 juta atau 11 juta hektare baru. Itupun, kalau 11 juta hektare ini merupakan lahan tanaman menghasilkan (mature), sementara di Indonesia baru 79 % yang merupakan lahan mature dari total lahan tertanam.
Jadi, moratorium yang dijalankan harus diketahui benar apa tujuannya contohnya saja apakah untuk melindungi lahan gambut atau lainnya. Tetapi, juga mesti diperhatikan dampak negatif dari moratorium ini yaitu masalah tenaga kerja dan perkembangan ekonomi di sekitarnya.
Intinya, moratorium lahan gambut dan hutan primer itu harus dihentikan. Seperti itu ya pak?
Saya setuju dengan pernyataan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, bahwasannya moratorium itu harus dihentikan. Sebab, negara ini akan menanggung banyak kerugian jika kebijakan ini terus berjalan. Kalau hanya mengharapkan, dana US$ 1 miliar dari Norwegia, maka kerugian kita bisa lebih besar dari itu.
Artinya intensifikasi sulit diharapkan untuk mendorong pertumbuhan produksi CPO nasional. Jadi perlu diseimbangkan antara perluasan lahan dan intensifikasi?
Jadi begini, perluasan lahan yang sekarang ini dilakukan itu terhambat masalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Artinya begini, kalau soal mengenai intensifikasi bisa dilakukan tetapi tidak banyak yang diharapkan seperti ekstensifikasi. Dengan kegiatan ekstensifikasi yang sulit dilakukan sekarang, perlu ada antisipasi dari kalangan pelaku usaha.
Dari pengalaman bapak, faktor apa yang menentukan kegiatan intensifikasi di kebun?
Pertama, sudah pasti kecambah sebab penggunaan kecambah yang standarnya tidak sesuai dengan kualitas dari balai benih sangatlah berbahaya. Kalau, benih sawit diperoleh dari produsen yang berkualitas misalkan produktivitas buah sampai 30 ton per hektare hingga 36 ton per hektare, hal ini sangatlah bagus. Tetapi, lain ceritanya apabila benih tersebut tidak didapatkan dari sumber benih yang berkualitas maka sangatlah rendah kualitasnya.
Kedua, kultur teknis yang dilakukan melalui aplikasi best management practice. Paling penting, itu adalah pupuk yang sangat dibutuhkan untuk menyuburkan unsur hara di tanah.
Selain itu, juga sangat penting melakukan pengendalian hama yang terintegrasi (integrated pest management) dengan meminimalkan penggunaan bahan kimiawi. Pengendalian hama non kimiawi yang diaplikasikan dengan menggunakan burung hantu (Tito alba) untuk mengendalikan hama tikus, dan menggunakan benefecial weed seperti air mata pengantin (Antigonon) dan bunga pukul delapan (Turnora subulata) untuk mengendalikan hama ulat api
Selama 20 tahun lebih bergelut di dunia perkelapasawitan, menurut anda sudah sejauh mana pertumbuhan industri kelapa sawit Indonesia dari aspek ekonomi dan lingkungan?
Jika berbicara praktek kelapa sawit yang berkelanjutan, sebenarnya perkebunan sawit sekarang ini berada di generasi keempat. Jadi, lahirnya RSPO itu bagaimana kita mempertahankan CPO dengan segala aspeknya. Tapi, jika masuk pengertian “berkelanjutan” dalam hal masyarakat adat dan keanekaragaman hayati sebenarnya itu sudah termaktub dalam aturan pemerintah semenjak lama. Artinya begini, untuk berkelanjutan dari aspek keanekaragaman hayati itupun sudah dilakukan perkebunan kelapa sawit. Kendati, kita juga tidak menafikkan adapula perusahaan yang kurang memerhatikan masalah keanekaragaman hayati. Peran RSPO dalam hal ini sangatlah penting untuk mengawasi dengan ketat aspek tersebut.
Sekarang, keberadaan RSPO dan ISPO itu dapat memperhatikan aspek keanekaragaman hayati dan pendapatan masyarakat setempat. Jadi, dampak negatif yang ditimbulkan dapat berkurang.
Bagaimana perkembangan industri kelapa sawit di masa yang akan datang?
Kelapa sawit akan terus tumbuh seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia. Sebab, tanaman ini dapat dipergunakan untuk produk jadi industri kosmetik, bahan bakar, dan makanan.
Produsen sawit di dalam negeri perlu mengantisipasi rencana pemerintah Brazil yang akan membangun perkebunan sawit dalam skala besar-besaran. Disana, penanaman tanaman sawitnya telah ditargetkan mencapai lima juta hektare, itu belum termasuk alokasi lahan sawitnya yang dapat mencapai 30 juta-40 juta hektare. Untuk itu, kapasitas industri hilir perlu diperbesar dan dapat menampung CPO ini sangat bagus.
Sebagai orang yang lama bergelut di dunia perkebunan sawit, prinsip apa yang anda pegang teguh untuk membangun perkebunan sawit yang baik?
Bagi saya, budaya kebun (corporate culture) itu harus dibangun yang jauh berbeda dengan budaya perkantoran. Sebab, segala aktifitas di kebun itu harus dilakukan satu jam sebelum matahari terbit, misalkan koordinasi atau apel pagi. Implementasi budaya kebun sulit berjalan apabila pimpinan yang menjadi panutan tidak berdisiplin penuh. Apel pagi ini menjadi ruang komunikasi antara karyawan dengan pimpinan untuk membicarakan banyak hal yang berkaitan dengan kebun. Selain itu, perlu dibangun kegiatan sosial kemasyarakatan seperti lomba olahraga yang dapat membangun kebersamaan antara pegawai dan masyarakat sekitar kebun. (Hendro R)