Oleh: Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H. (Bagian Kedua-Selesai)
Kedua, aspek yuridis, perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini diusahakan dengan berdasarkan, antara lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) beserta turunannya yaitu: Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan; Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit; Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 29/Permentan/KB.410/5/2016 dan diubah kembali dengan Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 21/Permentan/KB.410/6/2017; dan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ISPO). Di samping itu, peraturan perundang-undangan terkait lainnya, antara lain, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU Sistem Budidaya Tanaman); Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan; dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Terdapat beberapa substansi pengaturan dalam UU Perkebunan yang menarik dicermati apabila dikaitkan dengan kebijakan moratorium atau penundaan penambahan lahan perkebunan kelapa sawit, antara lain, bagian Menimbang huruf b menyebutkan bahwa perkebunan berperan penting dan memiliki potensi besar dalam pembangunan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Pasal 2 mengatur bahwa Perkebunan diselenggarakan berdasarkan, antara lain, asas kedaulatan; kemandirian; kebermanfaatan; keberlanjutan; dan efisiensi-berkeadilan. Selanjutnya, Pasal 3 memuat ketentuan bahwa penyelenggaraan Perkebunan bertujuan, antara lain, untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha; dan memberikan pelindungan kepada Pelaku Usaha Perkebunan dan masyarakat. Berdasarkan beberapa pengaturan dalam UU Perkebunan tersebut, Pemerintah dalam melakukan kontrol dan/atau pengaturan melalui kebijakan moratorium atau penundaan penambahan lahan perkebunan kelapa sawit tentu harus mempertimbangkan secara matang tentang peran penting dan potensi perkebunan kelapa sawit Indonesia. Selain itu, harus memperhatikan asas kedaulatan; kemandirian; kebermanfaatan; keberlanjutan; dan efisiensi-berkeadilan. Serta harus sejalan dengan tujuan penyelenggaraan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha; dan memberikan pelindungan kepada Pelaku Usaha Perkebunan dan masyarakat.
Selanjutnya, UU Sistem Budidaya Tanaman juga memuat beberapa substansi pengaturan yang perlu untuk dicermati apabila dikaitkan rencana kebijakan moratorium perkebunan kelapa sawit, antara lain, bagian Menimbang huruf a menyebutkan bahwa sumberdaya alam nabati yang jenisnya beraneka ragam dan mempunyai peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa; oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secari lestari, selaras, serasi, dan seimbang bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 2 menyatakan bahwa sistem budidaya tanaman sebagai bagian pertanian berasaskan manfaat, lestari, dan berkelanjutan. Pasal 3 menentukan bahwa sistem budidaya tanaman bertujuan meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor; meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani; dan mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Yang tidak kalah pentingnya adalah ketentuan Pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan bahwa petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya. Pasal 6 ayat (3) mengatur bahwa apabila pilihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak dapat terwujud karena ketentuan Pemerintah, maka Pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh jaminan penghasilan tertentu. Berdasarkan beberapa pengaturan dalam UU Sistem Budidaya Tanaman tersebut, Pemerintah dalam melakukan kontrol dan/atau pengaturan melalui kebijakan moratorium atau penundaan penambahan lahan perkebunan kelapa sawit seharusnya dapat menyeleraskan dengan amanat bahwa sumberdaya alam nabati, salah satunya kelapa sawit, harus dikelola dan dimanfaatkan secari lestari, selaras, serasi, dan seimbang bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya, pada hakikatnya petani (pekebun) diberikan kebebasan oleh undang-undang untuk menentukan jenis tanaman yang dibudidayakan. Kesimpulan yang dapat ditarik dari aspek yuridis, Pemerintah RI dalam merumuskan dan memberlakukan kebijakan moratorium atau penundaan penambahan lahan perkebunan kelapa sawit apakah tidak dapat dikatakan bertentangan dengan beberapa hukum positif Indonesia yang pada akhirnya akan dapat menciptakan ketidakpastian hukum dalam kegiatan ekonomi.