JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memainkan isu lingkungan untuk menghadang sumber pembiayaan industri sawit. Semenjak dua tahun terakhir, Otoritas Jasa Keuangan dan kalangan perbankan ditekan untuk menambahkan kriteria lingkungan di syarat pinjaman sesuai kepentingan LSM.
“Isu industri kelapa sawit di perbankan, gencar dilakukan oleh LSM dengan cara menggodok aturan OJK terkait green growth terhadap pembiayaan industri kelapa sawit,” ujar Dr. Rio Christiawan, Dosen Hukum Lingkungan Universitas Prasetya Mulya.
Rio menjelaskan bahwa aturan green growth terus dihembuskan kalangan pihak LSM kepada pelaku industri kelapa sawit. Pasalnya pemaknaan “green” saat ini belum ada kesepahaman.
Itu sebabnya, kata Rio, LSM gencar memasukkan prinsip NDPE ( No deforestation and peat policy) sebagai syarat mendapatkan sumber pembiayaan. Termasuk larangan pembiayaan kepada perusahaan diduga terlibat forest fire ke dalam covenan kredit pembiayaan.
“Tetapi, persoalan forest fire sekarang ini terkait kebakaran hutan juga belum ada penanganan yang tersentralisasi. Sebagai contoh, antara Kementerian LHK dan kepolisian bisa memiliki kesimpulan yang berbeda terkait karhutla,” jelasnya.
Demikian juga NDPE jika diadopsi dalam konvenan pembiayaan kredit akan memberatkan pelaku industri kelapa sawit, mengingat sebagian besar pelaku industri mengandalkan bank sebagai sumber utama pembiayaan setidaknya dalam sepuluh tahun pertama.
Apabila NDPE dijadikan syarat, dikatakan Rio, akan berpengaruh negatif terhadap perekonomian di Indonesia. Bukan hanya industri sawit sebagai sumber devisa utama. Melainkan, lembaga perbankan dan keuangan yang selama ini menjadikan industri sawit sebagai portofolio produktif. “Tentu saja, akan berpengaruh jika OJK mewajibkan bank memasukkan klausul yang memberatkan dalam kovenan perjanjian kredit.”
Rio menengarai usulan NGO bakalan menghambat growth dari industri kelapa sawit dan perbankan. Artinya, semangat green growth yang menjadi semangat awal OJK menjadi tidak terpenuhi. Kebijakan green growth harus didukung dengan kebijakan konservasi yang tidak menghambat pertumbuhan industri kelapa sawit.
Dengan menerapkan NDPE sebagai syarat kredit bank, justru yang akan menjadi korban adalah petani masyarakat (plasma) dan kemitraan sulit mendapatkan pendanaan. Disamping itu, jika perusahaan inti terhambat akses pendanaannya pada akhirnya akan berdampak pada pembangunan kebun plasma/ kemitraan.
“OJK dalam hal ini seharusnya memperhitungkan jika kebijakan lingkungan dipaksakan akan berpotensi memicu Non Performing Loan (NPL) pada bank yang mewajibkan konvenan tersebut. Apalagi jika syarat tersebut diletakkan sebagai syarat pencairan kepada pagu hutang yang tersedia. Bahkan dengan memasukkan NDPE sebagai syarat persetujuan pinjaman baru akan berpotensi menghambat pertumbuhan productive loan,” pungkasnya.
Beberapa waktu lalu, kalangan NGO mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Otoritas Jasa Keuangan untuk menambahkan kriteria NDPE dalam panduan pembiayaan. Alasannya, penambahan kriteria ini dapat dilakukan untuk mencegah karhutla.