JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperkirakan fenomena kekeringan akibat El Nino bisa saja meluncur ke 2024 dan lebih parah dampaknya dibanding tahun ini. Hal itu, tentunya akan mempengaruhi produktivitas sektor pertanian, khususnya sawit.
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan GAPKI Dwi Asmono mengungkapkan saat ini stakeholders sawit belum mempunyai cara jitu untuk memitigasi El Nino agar dampak ke pertanian tidak terlalu besar. Namun, berdasarkan pengalaman fenomena kekeringan sebelumnya, biasanya tahun kedua akan lebih parah.
“Ini belum ada yang ngomong, kekeringan 10 tahun terakhir terjadi 2 tahun berturut-turut, Kalau kita lihat, kekeringan 2015, dimulai 2014, kekeringan 2019, itu mulainya 2018. Sekarang El Nino, jika kekeringan berlanjut ke 2024, dampak kekeringan di sawit akan lebih parah,” ujar Dwi saat acara “Shell ExpertConnect 2023: Driving Innovation to Maximize Productivity In Agriculture” di The Darmawangsa Hotel, Jakarta Selatan, Kamis (19/10/2023).
Dia menambahkan perlunya semua pihak berkolaborasi untuk memitigasi cuaca seperti ini. Menurut Dwi, pihaknya juga dua bulan lalu telah mengundang Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk membicarakan El Nino dan dampaknya terhadap sawit.
“Biasanya mitigasi iklim lebih banyak didasarkan pada tanaman pangan. Ketika kekeringan, produksi beras turun berapa, jagung turun berapa. Itu kan tanaman yang hanya ratusan hari saja umurnya. Sedangkan sawit tanaman yang umurnya bisa 20-30 tahun,” ujar dia.
Dengan begitu, kata Dwi, dampak El Nino pun terhadap produktivitas sawit baru bisa dirasakan 6 bulan hingga 2 tahun yang akan datang.
Selain itu, ujar dia, ancaman sawit pun muncul tidak hanya lewat kekeringan, tapi juga Ganoderma. Serangan jamur dari Ganoderma ini bisa membuat pangkal batang sawit membusuk.
“Tentang disruption itu riil. Saya baca analisis Petersen, salah satu ancamannya ganoderma, kalau tidak bisa 2050 akan ada distruption sawit. sebab, dari 16 juta hektar itu sumber bibit ibunya hanya dari 4 bibit sawit yang ditanam di Kebun Raya Bogor 1848. Perlu pengayaan material genetik baru, untuk mengantisipasi disrupsi karena penyakit” pungkas Dwi.