Pemerintah mengakui daya tahan industri sawit di kala pandemi Covid-19. Mampu berkontribusi dan menjaga perekonomian nasional.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto mengatakan industri sawit mempunyai beragam keunggulan diantaranya penggunaan lahan lebih sedikit dari pada minyak nabati lain. Alhasil, lebih efisien dalam pemakaian lahan. Data menunjukkan untuk memproduksi satu ton minyak sawit butuh 0,3 hektare. Sementara itu, rapeseed oil memerlukan lahan 1,3 hektare dan soya oil butuh 2,2 hektare untuk produksi satu ton.
Dari aspek ekonomi, dikatakan Airlangga, industri sawit telah teruji menciptakan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. “Industri kelapa sawit telah berkontribusi untuk mengentaskan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja bagi sekitar 16 juta pekerja. Sehingga industri sawit merupakan sektor strategis yang perlu dikawal oleh seluruh komponen masyarakat,” kata Airlangga dalam webinar dengan tema “Peran Kelapa Sawit Terhadap Pembangunan Ekonomi Nasional” Sabtu (6 Februari 2021).
Di saat, banyak sektor ekonomi terdampak pandemic Covid-19. Diakui Airlangga, industri sawit salah satu industri tidak terdampak pandemi. Kegiatan operasional perkebunan sawit selama pandemic ternyata tetap berjalan meski memberlakukan protokol kesehatan yang ketat sehingga 16 juta pekerja di sektor sawit tetap memiliki pekerjaan dan penghasilan di tengah kelesuan ekonomi sepanjang 2020.
“Saat banyak sektor ekonomi terdampak akibat pandemi Covid-19. Industri sawit dapat bertahan tidak terkena (dampak),” jelas Airlangga Hartarto.
Dalam seminar tersebut Airlangga juga menjelaskan saat ini industri sawit mengalami tantangan dari negara luar. Sebagai produsen minyak sawit utama yang menguasai 55% pangsa pasar dunia dan komoditas ini berkonstribusi terhadap 3,5% pertumbuhan ekonomi nasional, maka pemerintah dan masyarakat wajib membela industri ini.
Salah satunya tantangan industri ini adalah kampanye negatif dari negara lain. pemerintah bersama stakeholder kelapa sawit, kata Airlangga telah melakukan upaya diplomasi, advokasi, dan kampanye positif terhadap kampanye negatif yang ditunjukkan kepada kelapa sawit.
“Pemerintah. Indonesia secara resmi telah melakukan gugatan di WTO terkait kebijakan diskriminasi terhadap kelapa sawit,” ucap Airlangga.
Tak sampai di situ, melalui industri sawit, pemerintah juga terus berkomitmen untuk mendukung program biodiesel (B30) pada tahun 2021 dengan target alokasi penyaluran sebesar 9,2 juta KL. Komitmen ini bertujuan untuk menjaga stabilitas harga CPO (Crude Palm Oil).
Airlangga menjelaskan, pemerintah terus berupaya mengembangkan kebijakan domestik demand dari produk kelapa sawit, antara lain pengembangan Biodiesel B30 sebagai salah satu alternatif BBM untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil.
“Program pengembangan B30 telah berkontribusi dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sekitar 23,3 juta ton karbondioksida di tahun 2020. Indonesia memiliki luas kebun sawit sekitar 16,3 juta hektare yang menyerap sekitar 2,2 miliar ton CO2 dari udara setiap tahun,” kata Airlangga.
Sementara itu Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman mengatakan perkebunan kelapa sawit tersebar di 190 kabupaten di Indonesia dan telah memberikan dampak positif terhadap perekonomian daerah sentra.
“Berdasarkan perhitungan statistik peningkatan produksi CPO sebgai produk utama kelapa sawit berpengaruh positif dan signifikan terhadap perekonomian di daerah daerah sentra perkebunan kelapa sawit,” ucapnya.
Sawit sebagai komoditas yang paling produktif menyumbang 42% dari total suplai minyak nabati dunia, pertumbuhan permintaan minyak nabati dunia meningkat 8,5 juta metrik ton setia ptahun. Meski di hantam badai pandemi tetapi industri sawit masih memperlihatkan kinerja ekspor yang baik.
“Ketahanan industri sawit Indonesia terhadap krisis ekonomi yang terjadi saat ini terbukti. Petani terjamin kesejahteraannya di tengah kelesuan ekonomi di mana operasional di perkebunan sawit tetap berjalan normal dengan protokol kesehatan ketat,” ucapnya.
Terkait kampanye positif, Eddy mengusulkan strategi promosi tidak lagi bersifat defensif. “Kita harus bisa offensive. Bisa kita permasalahkan minyak nabati lain yang diproduksi di Eropa seperti rapeseed,” ujar Eddy Abdurrachman.
Eddy Abdurrachman mengatakan bahwa strategi Indonesia menghadapi kampanye hitam selama ini bersifat defensif. Namun, strategi ini akan diubah menjadi lebih berani ofensif. Karena, ada pula kelemahan yang dimiliki minyak nabati kompetitor kelapa sawit.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 112)