JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah menghimbau agar sosialisasi kepada industri minyak sawit atas kebutuhan mitigasi terhadap 3-MCPD untuk food safety sangat penting dan harus menjadi prioritas. Hal itu, diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat membuka Forum on 3-monochloropropan-1,2-diol and Glycidyl Ester (3-MCPD dan GE) yang diselenggarakan oleh Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), pada Jum’at, (7 Februari 2020), di Jakarta.
Pernyataan tersebut didasari karena adanya kenaikan standar dari pasar global, antara lain kebijakan Uni Eropa (UE) terkait batasan maksimum 3-MCPD sebesar 2,5 ppm untuk minyak sawit jika ingin digunakan sebagai bahan makanan. Kebijakan ini akan diterapkan mulai Januari 2021. Namun, UE menerapkan batas 1,25 ppm untuk minyak nabati yang diproduksi di negara anggotanya.
Dengan adanya batasan maksimum 3-MCPD sebesar 2,5 ppm untuk minyak sawit, CPOPC menyatakan keberatan atas kebijakan tersebut. Batasan maksimum 3-MCPD sebesar 2,5 ppm adalah batas keamanan (safety level) yang dapat diterima untuk konsumsi. Untuk itu, Dengan demikian UE juga perlu menerapkan satu batas maksimum yang berlaku untuk semua minyak nabati. Sementara, minyak nabati yang diproduksi di UE, batasan maksimum 1,25 ppm.
“Konsumen akan disesatkan untuk percaya bahwa minyak sawit itu lebih buruk daripada minyak nabati yang sebenarnya memiliki batas 3-MCPD lebih rendah,” ujar Menko Airlangga.
Menurutnya, negara-negara CPOPC dengan tegas menolak kebijakan UE tersebut. Terutama karena keputusan terhadap proposal pemisahan dua level maksimum tersebut akan disahkan hari ini di Brussels, Belgia. Di samping soal ekspor, tujuan membuat batasan yang adil dan jelas untuk 3-MCPD juga penting untuk melindungi pasar domestik. “Karena masyarakat adalah perhatian utama kami,” tambah Menko Airlangga.
Forum 3-MCPD dan GE merupakan kegiatan internasional pertama untuk isu safety lavel bahan makanan di Indonesia. Forum dihadiri lebih dari 450 peserta dari pelaku industri hulu hingga hilir minyak sawit, akademisi, penyedia teknologi, dan pemerintah, serta dihadiri oleh duta besar dan perwakilan negara-negara produsen sawit di Indonesia, yakni Malaysia, Kolombia, Guatemala, Thailand, Peru dan Nigeria.
Forum ini diadakan sebagai tindak lanjut dari mandat Pertemuan Pejabat Senior CPOPC pada November 2019 guna menyiapkan kalangan industri dalam merespon kebijakan batas maksimum 3-MCPD pada minyak sawit yang akan dikeluarkan UE.
Forum 3-MCPD dan GE menjadi forum bertukar informasi hal-hal apa saja yang sudah dilakukan untuk memitigasi pembentukan kontaminan 3-MCPD/GE dalam rantai suplai di industri, terutama dalam hal riset dan teknologi. Teknologi itu harus efisien dalam mengurangi level kandungan 3-MCPD/GE dalam berbagai produksi minyak sawit dari hulu sampai hilir.
“Sehingga ke depannya, kita bisa membuat spesifikasi crude palm oil (CPO) baru yang sudah dimodifikasi sebagai usaha mitigasi dan meningkatkan kualitas minyak sawit itu sendiri,” kata Menko Airlangga.
Terkait dengan adanya Batasan maksimum food safety, Menko Airlangga menegaskan negara-negara CPOPC harus bersatu untuk mengatasi hambatan perdagangan minyak sawit, termasuk kampanye negatif yang dilakukan beberapa negara. Misalnya, minyak sawit yang disebut sebagai minyak nabati hasil deforestasi.
“Di sini sebaiknya kita tak hanya memikirkan deforestasi, tapi juga masalah keberlanjutan lingkungan ketika memproduksi CPO. Semua stakeholders, dari pelaku industri minyak sawit, peneliti sampai pemerintah, harus bergerak dalam usaha kolektif ini, sehingga dapat meningkatkan kualitas CPO dan produk konsumsi lainnya. Karena kita terapkan zero tolerance untuk food safety,” pungkas Menko Airlangga.