Dr. Tungkot Sipayung, Direktur Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institite (PASPI) menyebut adanya tantangan baru dalam implementasi Biodiesel (B30). Tantangannya yaitu di tengah godaan harga minyak mentah sawit atau Crude Palm Oil (CPO) yang menggiurkan di pasar Internasional.
“Ini memang menjadi kekHawatiran, harga sawit menggiurkan di pasar internasional, apakah kita masih teguh menjalankan/mengimplementasikan mandatori Biodiesel? Kekawatiran ini sudah dijawab dijawab oleh pihak stakeholder (Pak Menteri ESDM dan Pak Edi dari BPDPKS). Ternyata masih teguh dalam mengimplementasikan mandatori Biodiesel,” ujarnya, saat mengawali paparan.
“Dan, tantangan berikutnya adalah apakah kita masih bertahan dengan B30 atau meningkat menjadi B40, apakah B40 dengan campuran FAME 40% + solar 60% atau FAME 30% + Green diesel HVO 10% + 60% solar fosil,” tambah Tungkot dalam webinar “Menjaga Keberlanjutan Mandatori Biodiesel: Indonesia Menuju B40” yang diadakan Majalah Sawit Indonesia, Selasa (30 November 2021).
Untuk meneguhkan komitmen mandatori Biodiesel sebagai energi baru terbarukan yang dikembangkan dari minyak sawit, Tungkot menyampaikan 5 hal pentingnya mandatori Biodiesel di Indonesia.
“Pertama, Biofuel adalah salah satu jalur hilirisasi sawit Indonesia. Pengembangan Biofuels di Indonesia adalah bagian dari hilirisasi minyak sawit untuk menghasilkan biodiesel (fame), biohidro karbon, diesel sawit, bensin sawit, avtur sawit, biolistrik sawit, bioethanol, biogas, biodiesel alga, dan lainnya. Ini adalah produk-produk energi baru terbarukan dari hilir sawit yang sedang dan akan dihasilkan dari industri sawit di Indonesia,” jelasnya.
Selama ini, tak jarang industri sawit mendapat kritikan bahwa industri sawit hanya menghasilkan produk mentah saja, tetapi sekarang sudah banyak produk turunan tidak hanya menghasilkan minyak mentah saja.
Selanjutnya, ia mengatakan kedua, mandatori Biodiesel sebagai ketahanan energi bagi Indonesia. Manfaat dari Biofuel yang dikembangkan di Indonesia adalah bagian dari ketahanan energi, untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil, baik yang diimpor maupun yang ada di dalam negeri.Diversifikasi sumber energi EBT, menghemat fosil untuk generasi selanjutnya. “Kita jangan menjadi energi yang egois dengan menghabiskan energi fosil yang ada sehingga generasi yang akan datang tidak dapat menikmatinya. Karenanya tugas kita harus bisa menghemat energi fosil,” lanjut Tungkot.
Dengan dikembangkan Biodiesel berbasis sawit, penurunan ketergantungan impor diesel fosil, sejak 2009 hingga 2020. Sebaliknya, konsumsi biodiesel yang menggunakan FAME mengalami kenaikan.
Ketiga, kata Tungkot mandatori biodiesel mampu mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), menjadi bagian dari mitigasi perubahan iklim yaitu menurunkan emisi GRK melalui pengurangan produksi dan konsumsi energi fosil, memenuhi komitmen NDC/Paris Agremeent, “Glasgow Commitment”. Ini juga menjadi solusi supaya masalah lingkungan seperti pemanasan global dan turunannya bisa terselesaikan.
“Emisi Indonesia berdasarkan sumber emisi tahun 2018, penyumbang terbesar adalah penggunaan lahan dan energi. menggunakan biodiesel adalah upaya menyelamatkan lingkungan. Penghematan emisi GRK dari mandatori Biodiesel dari bauran FAME (B5 – B30), mampu CO2 sebesar 22,3 juta ton. Ini adalah prestasi besar dan’menunjukkan pemerintah dan masyarakat komitmen terhadap GRK, dan akan terus dilanjutkan,” jelasnya.
Keempat, mandatori Biodiesel bermanfaat dari aspek sosial ekonomi. Upaya ini, menghemat devisa negara, tetapi yang tak kalah menarik B30 mampu memperbaiki neraca perdagangan Migas. KIta tahu selama ini yang membuat neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit adalah neraca perdagangan Migas.
“Kehadiran B30 memperbaiki secara langsung. Sebagai contoh, tahun lalu kalau tidak ada B30 maka defisir neraca perdagangan mencapai USD8,6 miliar tetapi dengan adanya B30 bisa menurunkan menjadi USD5,9 miliar. Sementara, tahun ini dari data Januari-Agustus 2021 mengalami penurunan defisit neraca perdagangan dari USD10,3 miliar menjadi USD7,47 miliar. B30 membuat neraca perdagangan semakin baik kendati masih defisit tetapi semakin mengecil. Dan, membuat neraca perdagangan non Migas menjadi surplus dalam 10 tahun terakhir dan akan terus meningkat di masa mendatang,” urai Direktur Eksekutif PASPI.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 122)