Inovasi minyak jelantah dijadikan bahan untuk biodiesel bukan hal baru. Hal ini sudah dilakukan oleh salah satu peneliti dari Universitas IPB, sejak 14 tahun lalu. Bahkan, hasilnya Biodiesel saat itu diaplikasikan di angkutan umum (Trans Pakuan), di Kota Bogor, Jawa Barat.
Adalah Prof. Erliza Hambali, Guru Besar Universitas IPB mengutarakan pihaknya sudah mampu mengkonversi minyak jelantah menjadi Biodiesel, sejak 2007. Sebenarnya ide minyak jelantah menjadi biodiesel sudah ada dan diaplikasikan.
“Waktu itu tujuannya untuk mempromosikan Biodiesel (minyak nabati) kerjasama dengan Pemda Kota Bogor, Trans Pakuan dan Yayasan Heritage. Selain itu, kami juga membantu Freeport Indonesia untuk membuat biodiesel dari minyak jelantah yang dihasilkan dari kantinnya,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam hybrid webinar bertemakan “Kupas Tuntas Regulasi Minyak Jelantah Dari Aspek Tata Niaga dan Kesehatan”, Rabu (23 Juni 2021).
Acara ini diselenggarakan oleh GIMNI dan Majalah Sawit Indonesia dengan dukungan penuh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS). Kegiatan dibuka oleh Dr. Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian RI. Ada pun sambutan dari Eddy Abdurrachman, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dan Bernard Riedo, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).
Inovasi yang dilakukan Prof Erliza, apa bila di kembangkan bisa menjadi solusi untuk menekan angka pemanfaatan minyak jelantah yang didaur ulang menjadi minyak goreng, yang saat ini banyak dijual bebas di pasaran. Dan, berdampak buruk/negatif bagi kesehatan.
“Minyak jelantah atau minyak goreng bekas adalah minyak goreng yang telah digunakan lebih dari 5 kali penggorengan, dikategorikan sebagai limbah karena dapat merusak lingkungan bila dibuang keselokan atau tanah dan dapat menimbulkan masalah kesehatan bila dikonsumsi,” kata Prof.Erliza.
Hasil dari riset yang dilakukan Prof. Erliza juga menunjukkan minyak goreng yang sudah digunakan 5 kali untuk menggoreng, kandungan FFA (kandungan lemak) akan naik tergantung apa yang digoreng. “Ini bahayanya mengonsumsi minyak jelantah, psikositasnya naik dan terjadi polimerisasi, apa yang terjadi minyak goreng tidak bisa melewati pembuluh darah sehingga mengancam kesehatan,” imbuh Prof. Erliza.
Sebagai informasi, beragam atau jenis minyak goreng yang di pasarkan antara lain, Minyak Goreng Kemasan yang lumrah dijumpai di Modern Market. Selain itu, ada Minyak Goreng Curah yang tersedia di pasar tradisional dan Minyak Goreng Bulk yang digunakan di industri noodle dan cookies. Artinya, dengan banyaknya jenis minyak goreng yang beredar di pasaran berpotensi besar menghasilkan minyak jelantah yang belum banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku Biodiesel di Indonesia.
Berdasarkan data dari Masyarakat Pekelapa sawitan Indonesia (MAKSI) konsumsi minyak goreng dan margarin dalam negeri sebesar 9.8 juta ton. Kemudian, GIMNI mencatat konsumsi minyak goreng (termasuk shortering dan frying fat) sawit nasional mencapai 5,9 juta ton kl. Jadi rata-rata minyak jelantah yang dihasilkan dari konsumsi minyak goreng berada pada kisaran 40-60% (2,394 – 3,590 juta kl).
Sehingga jika dirata-rata minyak jelantah yang dihasilkan Indonesia sebesar 3 juta kl. Sementara, minyak jelantah yang baru bisa dikumpulkan 30% (893.200 kl). Dari 893.200 kl hanya sekitar 570.000 kl yang dikonversi untuk biodiesel dan kebutuhan lainnya, sisanya sekitar 323.200 kl digunakan untuk minyak goreng daur ulang dan ekspor (siaran pers KESDM No 399. Pers/04/SJI/2020).
Menyadari besarnya potensi dari minyak goreng bekas (minyak jelantah), kini diIndonesia juga sudah ada yang mengumpulkan minyak jelantah, di beberapa wilayah yaitu Jabodetabek (dari restoran, school, hospital, households), Bali (dari hotel dan restoran), Makasar (dari Hotel, restoran dan fast food) total jumlahnya 893,200 ton kl (30%) dari estimasi potensi minyak jelantah 3 juta kl.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 117)