Sinergi hulu dan hilir sangatlah penting supaya potensi sawit dapat digali lebih dalam. Penguatan kapabilitas dan inovasi menjadi faktor kunci.
Jelang pengujung 2022, Dwi Sutoro, Direktur Pemasaran Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) ini menerima wawancara tim redaksi Majalah Sawit Indonesia di salah satu hotel di Jakarta Selatan. Lulusan Institut Teknologi Bandung ini menguraikan gagasan dan pandangannya berkaitan tantangan dan peluang industri sawit Indonesia untuk menjadi barometer dunia.
“Di PTPN, memang saya orang baru. Tapi latar belakang professional saya sudah berkarir di industri pengguna sawit kurang lebih 25 tahun. Makanya, saya paham struktur industri hilir. Kemajuan indutri hilir yang berbasis sawit sangat dipengaruhi industri hulu (kebun),” ujarnya.
Dwi menjelaskan bahwa ketersambungan segmen hulu dan hilir menjadi faktor utama memperkuat industri sawit dalam negeri. Karena itulah, resiliensi perusahaan sawit akan lebih kuat apabila punya kapasitas dan kapabilitas untuk membangun rantai bisnis dari hulu sampai hilir.
“Demand naik terus, barang-barang yang dulunya tidak menggunakan turunan dari sawit kini mulai menggunakan. Contohnya saja adalah biodiesel yang menjadi bauran bahan bakar transportasi. Produk turunan dari sawit banyak, tergantung kemauan dan kemampuan pelaku industri untuk berinovasi,” ujarnya.
Dwi menjelaskan bahwa tantangan bersama yang harus dihadapi bagaimana stakeholders sama-sama membangun market sawit untuk ketahanan pangan dan energi. Dengan memasukkan sawit menjadi sumber ketahanan pangan dan energi maka akan membangun kapabilitasnya menjadi market di Indonesia.
“Apabila melihat sawit sebatas bahan baku minyak goreng itu ada titik jenuhnya. Namun potensi di bidang ketahanan pangan dan energi itu sangat besar merujuk dari literatur ilmiah. Hanya saja belum ada prioritas karena memang butuh investasi untuk produk bernilai tambah tinggi. Paling utama adalah sustainability menjadi tujuan utama apalagi sawit lebih unggul dibandingkan minyak nabati lain,” kata Dwi.
Sebagai produsen sawit terbesar di dunia, Dwi Sutoro menjelaskan bahwa sudah saatnya Indonesia menjadi barometer harga CPO dunia. Peranan KPBN (PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara) dapat dioptimalkan karena telah menjadi rujukan harga CPO pelaku industri sawit di dalam dan luar negeri.
“Sejak 1 November 2022, platform harga tender CPO KPBN sudah tayang di Bloomberg dan Reuters. Capaian ini bukanlah perjuangan mudah, kami harus yakinkan dua media internasional ini bahwa sistem perdagangan harga CPO KPBN sudah kredibel,” jelasnya.
Berikut ini petikan wawancara kami dengan Dwi Sutoro yang didampingi Bambang Agustian, Sekretaris Perusahaan Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero).
Bagaimana pandangan bapak berkaitan beberapa tantangan di industri sawit?
Kalau saya melihatnya tantangannya pasti ada, tetapi untuk industri sawit benefitnya sangat besar. Jadi, kalau dikelola dengan baik maka potensinya sangat luar biasa besar. Tantangan merata di semua lini baik di hulu, tengah maupun hilir.
Pertama, harga sangat berpengaruh sekali. Memang tidak mungkin mengontrolnya termasuk juga perusahaan besar tidak bisa mengendalikan harga. Namanya juga komoditi karena harga akan mengikuti.
Bisnis sawit tidak hanya dipengaruhi suplai dan demand. Melainkan juga ada pengaruh minyak nabati lain. Tidak hanya produknya yang sustainable bagaimana mengelola bisnisnya juga harus bisa sustainable.
Karena itulah perusahaan sawit di hulu memegang kunci. Sebab, bisnis komoditi harus efisien dan mampu memberikan lebih murah. Tantangannya adalah membuat bisnis sawit yang sustainable di sisi hulu. Lalu harus dapat memastikan produktivitasnya naik dan biaya produksi dapat dikontrol.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 135)