Maria Goldameir Mektania Pandiangan, Petani Sawit Milenial
Maria Goldameir Mektania Pandiangan masih menyimpan memori di masa kecilnya. Saat diajak orang tua ke kebun sawit. Itu sebabnya, ia lebih memilih profesi sebagai petani sawit.
Ibarat dari “sawit kembali ke sawit”. Perumpamaan ini menggambarkan perjalanan hidup Maria Goldameir yang karib disapa Golda. Sebelum kembali ke kampung halaman dan menekuni usaha di sektor perkebunan yaitu mengelola kebun sawit milik keluarga, perempuan berdarah Batak ini bekerja di Jakarta.
“Jujur tidak gampang, dari karyawan yang bekerja di kantoran menjadi petani sawit. Tetapi karena panggilan dan dorongan rasa penasaran serta tidak bisa mengingkari bahwa biaya pendidikan (sekolah) berasal dari hasil kebun sawit,” kata Golda yang pernah bekerja di perusahaan komunikasi dan media.
Saat ini, Golda mengelola kebun sawit bersama keluarga seluas lebih dari 20 ha di Palangkaraya dibantu 5 orang pekerja. Semula kebun sawit hanya dikelola orangtuanya. Kebun sawit tersebut adalah usaha sampingan orangtuanya. Ayahanya bekerja di Dinas Pekerjaan Umum (PU), Kota Palangkaraya.
“Papa saya membangun dan mengelola kebun sawit sebelum pensiun. Biasanya kalau sudah menjadi PNS jarang berpikir menjadi pekebun sawit. Tapi beda dengan papasaya. ia memilih untuk punya usaha lain yang melibatkan fisik karena karakter papa tidak mau diam. Makanya, ia memutuskan menjadi pekebun,” imbuhnya.
Sebagai perintis petani sawit swadaya di Palangkaraya, berbagai tantangan dihadapi orangtuanya. Mulai dari mengolah tanah (lahan), mencari bibit, cara menanam dan merawat hingga mencari perusahaan (pabrik kelapa sawit) untuk menyalurkan hasil produksinya.
“Saat itu, orang tua kami tidak ada referensi. Tetapi dengan semangat dan tekad yang kuat berkebun sawit tetap dijalani. Padahal, waktu tidak mudah untuk mencari bibit dan pupuk untuk support budidaya sawit. Mau tanya ke perusahaan (pabrik kelapa sawit) tidak memiliki relasi,” jelas Golda.
Sekitar 20 tahun lalu di Kalimantan Tengah tidak mudah merintis dan membangun kebun sawit dari nol. Bibit tidak mudah didapat, apa lagi harus memastikan bibit asli. Sebagai angkatan perintis petani sawit swadaya harus merasakan pahitnya mengelola kebun sawit secara swadaya.
Dapat dikatakan, petani swadaya di Palangkaraya bisa dibilang “tertinggal” dibanding petani sawit swadaya di Riau dan Sumatera.“Tetapi saya bersyukur orangtua sudah lebih dulu menjadi petani sawit. Jadi, saya menikmati uang dari sawit untuk pendidikan,” kata Golda, lulusan salah satu Universitas di Belanda.
Petani sawit swadaya, saat ini menghadapi berbagai tantangan di antaranya isu keberlanjutan dan inklusivitas. Untuk meningkatkan kinerja petani sawit swadaya terus diupayakan oleh pemangku kebijakan. Salah satunya dengan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang diiniasi pemerintah. Program PSR tak lain bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan petani dan produktivitas kebun.
Sebagai petani sawit generasi kedua, Golda terus mencari berbagai referensi untuk mengelola kebun sawit agar produktivitasnya dapat meningkat. “Untuk mendapatkan informasi yang tepat, saya memutuskan untuk masuk dan aktif di APKASINDO yaitu Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia. Di APKASINDO, saya mendapat beragam informasi terkait budidaya sawit yang baik supaya bisa meningkatkan produktivitas kebun,” katanya.
“Tantangan lain yang kami hadapi yaitu, mempersiapkan sistem agar panen bisa maksimal dan supaya TBS tidak dicuri, karena di Palangkaraya masih sering terjadi kasus pencurian TBS. Selain itu, ada tantangan sertifikasi ISPO. Yang jelas tantangannya berbeda, dengan tantangan yang dihadapi,” imbuh perempuan yang saat ini tengah melanjutkan studi Magister Hukum, di Universitas Palangkaraya.
Terkait dengan isu lingkungan yang kerap ditudingkan pada sektor sawit salah satunya menjadi penyebab kabut asap dan banjir di Palangkaraya, Golda mengatakan pada 20 tahun lalu sudah ada isu lingkungan yang ditudingkan pada sawit.
“Saat itu, isu-isu negatif sawit tidak seperti sekarang karena belum terlalu muncul ke permukaan. Padahal saat itu sudah sering terjadi sering kabut/asap tetapi kita masih menganggap fenomena alam. Sementara jika terjadi banjir saya berpikirnya di hulu sedang hujan deras air sungai meluap. Saya hanya berpikir seperti itu tidak berpikir yang lain,” ucapnya.
“Tetapi, saat ini jika ada kabut/asap langsung ditudingkan ke sawit sebagai penyebab kebakaran dan kerusakan lingkungan. Sebelumnya, saya terpengaruh dengan informasi dari beredar. Setelah saya kembali ke Palangkaraya menjadi petani sawit, perspektif saya mulai berubah, ternyata sawit bukanlah menjadi penyebab utama dari kabut/asap dan banjir di Palangkaraya, karena saya melihat langsung fakta di lapangan,” tambah Golda.
Fakta menunjukkan pembukaan lahan yang paling efisien dengan cara membakar. Tak sedikit, masyarakat yang masih menggunakan sistem tradisional membuka lahan dengan membakar. Bahkan di Palangkaraya ada aturan yang memperbolehkan membuka lahan dengan cara membakar.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 121)