Institut Pertanian Bogor (IPB) University dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) melakukan uji akademis kelapa sawit sebagai tanaman hutan. Menuai pro kontra di masyarakat. Butuh kebijakan politik yang kuat.
Gagasan kelapa sawit dijadikan tanaman hutan sebenarnya bukan hal baru. Satu dekade lalu, upaya ini mulai disuarakan dalam forum ilmiah dan diskusi. Sekadar mengingatkan 2018 lalu, Fakultas Kehutanan IPB bersama sejumlah pihak telah mengajukan gagasan ini. Saat itu, mereka bekerjasama dengan Pusat Kajian dan Advokasi Konservasi Alam, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit mengadakan diskusi kelompok terfokus (FGD) bertemakan “Sawit dan Deforestasi Hutan Tropika”.
Berdasarkan hasil diskusi di FGD ini, ada solusi yang disepakati bersama adalah perlu segera disusun naskah akademik sebagai dasar pertimbangan usulan tanaman sawit menjadi salah satu tanaman kehutanan. Naskah akademik dapat membantu supaya sawit ditanam pada kawasan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Sesuai pengaturan tata ruang mikro hutan tanaman, hutan tanaman sawit ini merupakan lanskap mozaik dengan jenis-jenis tanaman lainnya.
Tiga tahun berlalu, naskah akademis tak kunjung terbit. Padahal, naskah ini sangat penting untuk menjadi terobosan menyelesaikan sengkarut masalah sawit yang diklaim masuk kawasan hutan. Tidak adanya kepastian penyelesaian kawasan hutan inilah yang membuat banyak pihak dirugikan.
Dr. Gulat ME Manurung, MP, CAPO, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), menuturkan hingga kini, penyelesaian masalah kebun sawit rakyat di kawasan hutan belum ada kejelasan, sekalipun sudah terbit regulasi UU Cipta Kerja dan turunannya. Di saat bersamaan legalitas lahan satu hal mendasar bagi petani, baik untuk kepastian hukum namun juga keperluan pengembangan atau investasi lainnya.
Kebijakan dan regulasi belum menjawab sengkarut pengelolaan sawit rakyat, hingga rakyat jadi subjek paling dirugikan dengan konflik sawit dalam kawasan hutan.
Di satusisi, petani menghadapi banyak persoalan sebagai dampak ketidak pastian legalitas. Masalah yang dihadapi seperti kewajiban sertifikat ISPO dan persyaratan Peremajaan Sawit Rakyat.
Draf naskah akademik yang merekomendasikan kelapa sawit sebagai tanaman hutan beredar luas di grup sosial media. Naskah ini merupakan kolaborasi Fakultas Kehutanan IPB University dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) yang digagas semenjak Oktober 2021.
“Saya memandang jauh kedepan jika tidak mengakomodir akar masalahnya, maka perjalanan ini akan sangat melelahkan dan memakan korban. Permasalahan klaim hutan terhadap perkebunan kelapa sawit ini tidak akan terselesaikan dengan batas waktu 3 tahun sejak diundangkannya PP-UUCK namun kita sudah terkunci dengan batas ini dan disebut dalam UUCK,” jelas ayah dua anak ini.
Atas dasar itulah, IPB University dan APKASINDO menandatangani naskah kerjasama untuk penyusunan naskah akademis sawit sebagai tanaman hutan. Hasil kajian akademis ini sangat fundamental dan diharapkan meng-counter mitos yang selama ini ditujukan kepada sawit.
“Kajian penyusunan naskah akademi kini murni inisasi APKASINDO. Petani dari Sabang sampai Merauke gotong royong mengumpulkan dana untuk riset ini. Kami lakukan ini karena butuh kepastian hukum atas lahan,” ujar Gulat.
Menurutnya, petani sawit sangat memerlukan hasil kajian akademis ini. Karena regulasi sekarang ini belum menjawab sengkarut pengelolaan sawit rakyat yang diklaim masuk kawasan hutan. Akibatnya, rakyat paling dirugikan dengan konflik kebun sawit di kawasan hutan ini.
Anggota Komisi IV DPR RI Yohanis Fransiskus Lema mengkritik KLHK yang tidak memiliki data akurat berkaitan kawasan hutan. Sebab data Kementerian yang dipimpin Siti Nurbaya ini hanya dari potret satelit.
“Penggunaan citra satelit ini tidak dapat dijadikan dasar bagi penindakan hukum ketingkat selanjutnya,” kata Yohanis.
Alasan Ilmiah Sawit Dijadikan Tanaman Hutan
Alasan terbitnya naskah akademik ini adalah perlakuan “diskriminatif/crop apartheid” oleh beberapa pihak (baik dalam lingkup nasional maupun internasional) terhadap tanaman kelapa sawit. Sebagaimana ditulis oleh tim penyusun di dalam naskah ini.
Sampai saat ini, dikatakan tim penyusun, bahwa kelapa sawit masih dikategorikan bukan sebagai tanaman hutan baik oleh FAO maupun Kementerian Lingkungan dan Kehutanan RI. Bahkan Keberadaan kebun sawit di kawasan hutan pun dianggap sebagai “masalah”. Lebih dari itu, sejak tahun 2006, tudingan bahwa kebun kelapa sawit Indonesia merupakan hasil deforestasi dan menurunkan keanekaragaman hayati hutan tropika primer terus bergulir ibarat bola salju. Puncaknya, pada tanggal 21 Mei lalu Parlemen Uni Eropa telah mengadopsi Delegated Act RED II ILUC sebagaimana dimuat dalam Official Journal tanggal 21 Mei 2019.
Walaupun kelapa menempati posisi istimewa dalam perekonomian Indonesia. Perlakuan diskriminasi masih diterimanya. Kontribusi sawit mencapai lebih dariRp 200 triliun setiap tahun dan membuka lapangan kerja bagi 21,49 juta orang. Tetap saja kebijakan yang bersifat “diskriminasi/crop apartheid terhadap tanaman sawit” terus terjadi dalam lingkup nasional tetapi juga internasional.
Sebagai contoh, keputusan FAO tidak memasukkan sawit sebagai tanaman hutan, merupakan hegemoni tafsir dari kelompok negara-negara pesaing sawit yang berkepentingan terhadap kelangsungan industri minyak nabatinya. Demikian pula halnya LSM-LSM serta kelompok masyarakat tertentu sangat menentang SK Menteri Kehutanan tahun 2011 yang memasukkan sawit sebagai salah satu tanaman hutan.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 124)