Pembentukan Badan Restorasi Gambut berpotensi menguras anggaran negara. Sumber pendanaan mencapai Rp 25 triliun yang diambil dari APBN. Dibandingkan restorasi, kalangan akademisi menyarankan penggunaan gambut dengan teknologi pemadatan.
Supaya kebakaran lahan dan gambut tidak terulang seperti tahun lalu. Pemerintah mengantisipasi lewat pembentukan badan restorasi gambut. Wacana ini diungkapkan Presiden Joko Widodo semenjak akhir tahun lalu yang menyebutkan Badan Restorasi Ekosistem Gambut (BREG) segera dibentuk sebagai bagian komitmen Indonesia untuk melindungi ekosistem gambut.
Pada 1 Desember 2015 di sela-sela Konferensi Perubahan Iklim di Paris, Presiden Jokowi berjanji badan ini secepatnya dapat terbentuk pada pekan depan. Kendati demikian sampai tutup tahun 2015, realisasi pembentukan badan restorasi ini tidak juga keliatan bentuknya.
Sejumlah pengamat lingkungan hidup dan ekonomi menyarankan supaya pembentukan badan ini dikaji ulang. Pasalnya, dana restorasi sangatlah besar dan butuh waktu lama. Supiandi Sabiham, Guru Besar Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Institut Pertanian Bogor (IPB), menjelaskan kegiatan restorasi membutuhkan waktu lebih lama dan berbiaya besar. Restorasi diperkirakan bisa memakan waktu 50 tahun.
Ini terbukti dari hasil rapat pembahasan badan restorasi gambut yang dipimpin Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI, pada awal Januari disebutkan dana restorasi lahan gambut seluas 2 juta hektare mencapai Rp 26 Triliun. Sumber pendanaan berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan hibah negara lain.
Hermanto Siregar, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan pembentukan badan restorasi ini bisa mengakibatkan borosnya anggaran negara. Sebenarnya, kalaupun pemerintah ingin mendapatkan dana bantuan dari luar negeri cukup melalui unit yang ada di kementerian/lembaga sekarang.
“Jadi, cukup menggunakan instansi pemerintah yang sudah ada seperti Kementerian Pekerjaan Umum atau Kementerian Kehutanan. Yang penting tugas dan fungsinya dibuat jelas sehingga unit tersebut bisa fokus melaksanakan restorasi gambut,” ujarnya.
MR Karliansyah, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Linkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan tugas badan restorasi gambut hanya bersifat teknis lapangan. Sementara porsi kebijakan tetap di KLHK kecuali kebijakan pemetaan dan zonasi di tujuh wilayah restorasi gambut antara lain Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.
“Tugas badan restorasi melaksanakan pekerjaan sipil dalam rangka restorasi gambut di tujuh provinsi yang terbakar pada 2015. Sementara itu, tugas perlindungan dan pengelolaan gambut di luar tujuh provinsi menjadi tanggung jawab KLHK mulai dari pencegahan, pemulihan, restorasi, penegakan hukum, dan dukungan kebijakan operasional,” ujar Karliansyah kepada SAWIT INDONESIA dalam layanan pesan Whatsapp.
Pada 13 Desember 2015, Presiden Joko Widodo resmi mengangkat Nazir Foead menjadi Kepala Badan Restorasi Gambut. Pengangkatan Kepala Badan Restorasi Gambut sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016. Berdirinya Badan Restorasi Gambut (BRG) adalah respon pemerintah terhadap terjadinya kebakaran lahan dan hutan di beberapa provinsi pada tahun kemarin.
“Pada hari ini, saya memperkenalkan Insinyur Nazir Foead untuk membantu saya sebagai kepala Badan Restorasi Gambut. Saya minta Nazir Foead supaya membantu koordinasi dan fasilitasi restorasi gambut di beberapa provinsi,” ujar Jokowi.
Menurut Jokowi, Nazir punya kompetensi dan berpengalaman membangun restorasi hutan dan gambut khususnya mampu berkoordinasi dengan kementerian, lembaga, dan jejaring lembaga internasional. “Saya tugaskan badan restorasi gambut untuk membuat rencana aksi dan pelaksanaannya. Kami ingin menyakini dunia internasional bahwa Indonesia serius dalam memperbaiki mengatasi kerusakan hutan dan lahan gambut,” katanya.
Terkait pejabat di Badan Restorasi Gambut, Hermanto Siregar berpendapat sebaiknya kalangan profesional yang mengelola badan ini. Sedangkan, unsur aktivis lingkungan hidup sebaiknya dijadikan pengawas badan ini. “Mereka (relawan) tidak tepat dijadikan pelaksana karena bisa menciptakan konflik kepentingan,” ujarnya.
Dalam pandangan Peneliti Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Tukirin Partomihardjo, mengatakan restorasi areal gambut sulit dilakukan karena tatanan ekologi dari areal yang terbakar sudah hancur sehingga butuh waktu lama untuk memulihkan tanah. Selain itu, tidak adanya mikroba yang dapat membantu dekomposisi organisme mati untuk memberikan daya bagi tumbuhan di atasnya.
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Januari 2016-15 Februari 2016)