Kelapa sawit dihambat kebijakan bea masuk di Amerika Serikat. Produk sawit akan dibebani bea masuk lebih dari 40%. Aturan ini tidak terlepas dari kebijakan proteksionisme Presiden Trump. Pemerintah dan pengusaha aktif melobi supaya perdagangan sawit tetap positif.
Amerika Serikat dalam tiga tahun terakhir menjadi pasar menggiurkan untuk eksportir sawit Indonesia. Merujuk data GAPKI, permintaan sawit terus meningkat dari 477 ribu ton pada 2014 menjadi 1,08 juta ton pada 2016. Kenaikan ekspor sawit tidak terlepas dari keunggulan komparatifnya; harga sawit lebih murah daripada minyak kedelai.
Potensi pasar Amerika Serikat sebenarnya sudah terbaca dari laporan Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan tahun 2015. Laporan ini menyebutkan bahwa ekspor minyak sawit dan produk turunannya ke Amerika Serikat sangat terbuka lebar untuk memenuhi permintaan minyak nabati di pasar Amerika Serikat. Penggunaan minyak sawit diperuntukkan bagi produk oleokimia dasar dan turunannya seperti fatty acid, biodiesel, gliserol, fatty alkohol, dan berbagai macam produk surfaktan.
Meningkatnya perdagangan sawit cukup membuat ketar ketir produsen minyak nabati lokal. Upaya menghambat mulai diterapkan melalui kebijakan notice of data availability (NODA) dari Environmental Protection Agency (EPA). Namun kebijakan ini tak juga membuahkan hasil.
Itu sebabnya, Departemen Perdagangan Negeri Paman Sam berencana memberlakukan bea masuk anti-subsidi sementara terhadap biodiesel dari Indonesia. Walaupun, keputusan final akan berlaku 7 November 2017. Tetapi, kalangan produsen mewaspadainya. Pasalnya, aturan ini membebankan tarif bea masuk anti-subsidi sementara biodiesel untuk Wilmar International Ltd sebesar 41,06 persen, PT Musim Mas mencapai 68,28 persen dan perusahaan lain yang mengekspor ke Amerika Serikat sebesar 44,92 persen.
Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan, menyangkal tuduhan anti dumping biodiesel karena belum terbukti. “Kami akan sampaikan permintaan ke Amerika untuk segera diperiksa setelah berbicara dengan produsen, “katanya.
Dari kalangan produsen biodiesel, MP Tumanggor, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI), khawatir penerapan tarif anti dumping. “Ekspor biodiesel ke Amerika bisa terganggu, bahkan terancam berhenti,” pungkasnya singkat.
Tungkot Sipayungm Direktur PASPI, mengkritik rencana Amerika serikat untuk memberlakukan Bea Masuk Anti Dumping 40-60 persen terhadap impor biodiesel sawit Indonesia . Kebijakan tersebut diambil atas tuduhan subsidi biodiesel Indonesia.
Sejatinya, kata Tungkot, tuduhan subsidi tersebut seharusnya dialamatkan ke biodiesel USA sendiri. Menurut study The Global Subsidies Initiative, mengungkap bahwa Amerika Serikat memberikan US$15 miliar-US$17 miliar subsidi biodieselnya setiap tahun. Komponen subsidi pada harga biodiesel kedelai domestik Amerika Serikat mencapai 60-70 persen.
“Jadi kebijakan anti dumping Amerika Serikat terhadap impor biodiesel sawit Indonesia sangat tidak adil dan diskriminatif. Pemerintah RI harus protes atas kebijakan tersebut,” tegas Tungkot