Aturan perlindungan gambut yang ditetapkan melalui PP 57/2016 membahayakan keberlanjutan ekonomi nasional dan daerah. Sejumlah pasal membatasi ruang gerak pemerintah daerah maupun pelaku industri untuk berinvestasi.
Pemberlakuan PP 57/2016 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut membuat resah Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian RI. Pasalnya, beleid ini berdampak besar kepada dua sektor industri strategis: kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Keresahan ini diungkapkan Airlangga Hartarto kpeada Presiden Joko Widodo melalui Surat bernomor 150/M-IND/3/2017. Tembusan surat per tanggal 30 Maret 2017 dikirimkan kepada tiga Menteri lainnya yaitu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Sekretaris Kabinet.
Dalam isi suratnya, Menteri Airlangga menyebutkan telah berkomunikasi dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, melalui surat bernomor 149/M-IND/3/2017 tanggal 30 Maret 2017 mengenai dua kelompok industri yang terkena dampak langsung dari penerapan PP gambut dan peraturan pelaksanaannya. Keduanya adalah industri bubur kayu dan kertas dan industri kelapa sawit beserta turunannya.
Surat Menteri Airlangga ini memaparkan secara detil dampak pelaksanaan PP 57/2016 kepada industri pulp and paper serta kelapa sawit dari aspek ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan investasi.
Ada tiga usulan Menteri Airlangga berkaitan revisi PP 57/2016. Usulan pertama yaitu meminta pemegang izin kebun sawit dan HTI masih diizinkan untuk menjalankan aktivitas budidaya dengan syarat dapat mengimplementasikan teknologi terbaru tata kelola air gambut yang meminimalkan emisi karbon dan mengantisipasi kebakaran lahan.
Usulan kedua adalah merevisi beberapa pasal yang tercantum pada PP No71 tahun 2014 jo. PP No 57 tahun 2016 agar meminimalisir dampak kepada kedua kelompok industri terkait.