Minyak sawit sebagai ingredien produk panganolahan lebih unggul dibandingkan minyak nabati lain.
Fakta telah membuktikan bahwa dari minyak sawit beragam produk dapat dihasilkan. Tak kurang dari ratusan produk terbuat dari bahan minyak sawit mulai dari produk makanan, kosmetik hingga energi terbarukan (biodiesel). Bahkan, produk-produk kebutuhan sehari-hari yang ada di swalayan mengandung minyak sawit.
Guru Besar IPB University, Prof Nuri Andarwulan mengatakan pada kesempatan itu, keistimewaan sifat fisik-kimia minyak sawit yang tidak dimiliki oleh minyak lainnya yang ada di pasaran.
“Seperti diketahui, minyak sawit dapat berasal dari olahan Crude Palm Oil (CPO) dan Crude Kernel Palm Oil (CKPO) atau minyak inti sawit. Dua minyak yang dihasilkan dari satu sumber, yang tidak dimiliki oleh sumber minyak nabati lainnya,” ujarnya, saat menjadi salah satu pembicara dalam webinar “Inovasi Sawit dalam Industri Pangan’, pada Rabu (25 Mei 2022).
Selanjutnya, ia mengatakan dari proses pengolahannya secara fisik berdasarkan suhu menggunakan panas dan pendinginan bisa mendapatkan beragam produk dari sabut/bagian luar buah sawit dari Crude Palm Oil (CPO) bisa menghasilkan beragam produk (minyak) yaitu RDB-PO, Olein (cooking oil), super olein (cooking oil, premium cocoa butter replacer/CBR), PMF (dicampur dengan exotic fat menjadi cocoa butter equivalent/CBE); dan stearin (shortening, margarine).
“Sementara, dari minyak inti sawit jika proses fisik menggunakan suhu tertentu juga mendapatkan beragam produk yaitu dari CPKO menjadi PKO; PK Olein (low grade CBS), PK stearin (premium CBS). Variasi produk yang berasal dari CPO dan CPKO sangat banyak dan dibuat sesuai tujuan dari pengunaannya di industri panganolahan. Saat ini industri sawit memiliki ratusan produk yang dihasilkan hanya berdasarkan pemisahan secara fisik menggunakan suhu untuk fraksinasi,” tambah Prof Nuri.
Diketahui, karakteristik fisik minyak sawit dan produknya sangat dipengaruhi oleh komposisi asam lemaknya, kandungan asam lemak jenuh yang tinggi – padat suhu ruang (titik leleh tinggi, lebih stabil terhadap pemanasan dan ketengikan), kandungan asam lemak tidak jenuh yang tinggi – cair pada ruang (titik leleh rendah). Produk minyak sawit dapat dikelompokkan menjadi 2 berdasarkan kadar lemaknya yaitu produk minyak/lemak (RBDPO, olein, starin, PKO, vegetable ghee, shortening) dan produk emulsi (margarin, margarin-butter blend).
Terkait dengan minyak sawit sebagai ingredien minyak/lemak makan, Prof Nuri mengatakan minyak sawit sangat sulit untuk disubstitusi oleh minyak/lemak yang ada di pasaran. Minyak sawit untuk ingredien minyak/lemak makan dapat dikelompokkan mulai dari tingkat kesulitan tinggi untuk disubstitusi oleh minyak/lemak lainnya (chocolate coating, non-dairy cream margarine for croissant, margarine for cream), tingkat kesulitan sedang (cocoa cream, donuts, margarine for cooking, dan Biscuits), sementara untuk tingkat kesulitan rendah (margarine for spreading dan frying oils) yang masih dapat disubstitusi minyak nabati lain. “Tetapi untuk minyak sawit harganya lebih kompetitif. Ini berhubungan dengan keekonomian dan teknologi yang diterapkan,” jelasnya.
“Friying oils yang diolahdari CPO yaitu RBDPO (Palm Oil), RBDP-Olein dan RBDP-Stearin dan dapat pula dari minyak inti sawit. Frying oil dari minyak sawit tingkat kesulitan substitusinya rendah karena dipasaran ada saingan minyak nabati lain. Namun, minyak sawit lebih kompetitif dari sisi harga. Selain itu, minyak nabati lain (minyak kedelai, minyak jagung dan minyak biji bunga matahari) jika digunakan untuk menggoreng memiliki keterbatasan karena asam lemak tidak jenuh sangat tinggi, sehingga tidak tahan panas dan mudah tengik. Minyak nabati tersebut agar stabil (tahan panas dan tidak mudah tengik) harus dihidrogenasi dan saat ini proses tersebut dilarang. Inilah salah satu alasan minyak sawit saat ini menjadi minyak goreng dunia,” tambah perempuan yang aktif di SEAFAST Center, IPB University.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 128)