Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Sektor Kehutanan dan Perkebunan mendapatkan perhatian khusus. Draf aturan turunan UU Cipta Kerja dinilai kontra produktif. Membahayakan perkebunan sawit petani.
“Sanksi administrasi yang ada di RPP itu sangat tidak berpihak kepada petani kelapa sawit. Mulai dari denda yang tidak masuk akal hingga luasan maksimal kebun petani sawit yang bertentangan dengan Undang-Undang 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. Di UU 39 itu sebutkan bahwa kebun petani kelapa sawit maksimal 25 hektar. Sementara di RPP disebut hanya 5 hektar yang diakomodir,” kata Ketua DPP Apkasindo, DR (c) Gulat Medali Emas Manurung dalam konferensi pers virtual, Selasa malam (12Januari 2021).
Ada pun soal sanksi denda yang takmasuk akal tadi dikatakan lelaki 48 tahun ini, bahwa RPP dibuat simulasi rumus bahwa denda yang harus dibayar petani adalah Rp 25 juta dikalikan lama menguasai lahan dikali luas lahan dikali volume kayu yang ditebang saat membuka lahan.
Tak heran, organisasi petani sawit tertua di Indonesia ini mengirimkan surat resmi setebal 17 halaman kepada Presiden Jokowi. “Denda tidak masuk akal dan saya pastikan petani tak akan ada yang sanggup membayar. Nilainya puluhan miliar rupiah hingga ratusan miliar rupiah. Makanya, kami lapor presiden,” ujar Gulat.
Yang paling membikin Apkasindo khawatir, kata Gulat, di RPP itu disebutkan bahwa kawasan hutan adalah kawasan yang sudah ditetapkan. “Sementara itu, mayoritas petani sawit justru ada di kawasan hutan yang masih dalam penunjukan, pemetaan dan penataan batas.”
Petani sawit adalah investor karena petani menanam sendiri, memupuk sendiri, memodali sendiri, membuat jalan sendiri semua serba sendiri. Dengan luas kebun petani dalam kawasan hutan seluas 2,73 juta hektar jika tidak diakomodir dalam RPP dalam bentuk pasal khusus maka investasi petani dengan luas 2,73 juta ha tersebut akan hilang sebesar Rp 546 Triliun, termasuk biaya sosialnya.
Belum lagi dihitung kerugian Pemerintah untuk menghutankan kembali dan hilangnya potensi Penerimaan negara yang diperkirakan mencapai Rp 825 Triliun. Jika digabung semua kerugian inventasi ini maka totalnya mencapai Rp 1.370 Triliun. Untuk kerugian penerimaan negara (Bea Keluar dan Pungutan Eksport) baru dihitung satu tahun, jika umur tanaman masih produktif 10 tahun lagi maka tinggal mengalikan saja.
“UUCK hanya memberikan batas waktu 3 tahun untuk menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan tadi. Kalau persoalan klaim kawasan hutan tadi baru bisa kelar setelah pengukuhan kawasan hutan, kami pastikan waktu 3 tahun itu tidak akan cukup, “tambah Gulat.
Menurutnya, apa bila tak terselesaikan maka petani sawit akan terus bermasalah dengan kawasan hutan. Akibatnya, program strategis Presiden-Wakil Presiden terkait PSR dan ISPO (Program PSR, Peremajaan Sawit Rakyat dan Sawit berkelanjutan ISPO) tidak akan pernah bisa digapai petani. Ini berdampak secara menyeluruh, sehingga menabrakkan Program Strategis Presiden/Wapres di Bidang Ketahanan Energi, Bidang Sawit berkelanjutan dan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) ke RPP yang sedang dirancang ini. Terganggunya Hulu (aspek budidaya dan produksi) akan praktis mengganggu hilir (industrilisasi).
“Kita harus mensyukuri anugerah Tuhan kepada NKRI, yaitu sawit dapat tumbuh subur di Indonesia dan menjadi kebanggaan dan penopang ekonomi Indonesia dan sudah teruji saat krisis moneter 1998 dan Covid 19 bahwa sawitlah menjadi penopang ekonomi Indonesia, sebagaimana Pidato Presiden saat Rakernas Pembangunan Pertanian (11-01-2021) tentang ekonomi Indonesia bahwa Sawit adalah tertinggi penyumbang nilai eksport Indonesia,” jelas Gulat.
Ia berharap Presiden menegur semua perangkat yang terlibat dalam penyusunan RPP ini. Sebab dalam UU Cipta Kerja sudah bagus dan kami APKASINDO setuju dengan roh UUCK tersebut.
Tapi dalam RPP tidak sesuai dengan harapan besar yang sudah disampaikan presiden di beberapa kali pidato. “Kami menduga ada niat jahat yang terstruktur, masif dan sistimatis dalam rencana besar Presiden Jokowi memperbaiki sistem regulasi kehutanan dan perkebunan di Indonesia ini yang sudah puluhan tahun sengaja dibiarkan berantakan,” tegasnya.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 111)