Jakarta, SAWIT INDONESIA – Isu krisis pangan telah melanda berbagai negara di dunia. Terlebih lagi dengan adanya perang antara Rusia dan Ukraina, serta Israel dan Palestina menjadikan banyak negara produsen bahan pangan enggan mengekspor ke negara lain.
Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Haznan Abimanyu mengatakan dengan adanya perang yang melanda sebagian negara di dunia berakibat lantai pasok bahan pangan menjadi terganggu. Teknologi dan inovasi terkait penyediaan dan ketahanan pangan mempunyai peran penting untuk mengatasi krisis pangan tersebut.
“Kondisi ini mengakibatkan rantai pasok distribusi pangan menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya dan menimbulkan ketidakpastian yang berpotensi menggangu distribusi pangan dan ketersediaan pangan,” kata Haznan dalam forum diskusi Smart Farming For Subtainable Growth yang mengusung tema inovasi dan Tantangan Penerapan Standar Berkelanjutan dan Community Development untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Mengatasi Perubahan Iklim, di Jakarta Convention Center, Kamis (16/11)
Atas kondisi tersebut menurut Haznan, banyak negara yang lebih memilih menahan komoditas pangganya untuk tidak mengekspor. Dalam hal ini komoditas bahan pangan dan mungkin kondisi ini bertahan beberapa bulan demi mementingkan cadangan dalam negeri.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arif Prasetyo Adi mengatakan, saat ini banyak penduduk dunia mengalami kelaparan sebagai akibat dari krisis pangan yang melanda. Bahkan Food and Agriculture Organization (FAO) telah merilis Status Ketahanan Pangan dan Gizi Dunia Tahun 2023, yang memperkirakan antara 690-780 juta orang di dunia mengalami kelaparan pada tahun 2022. “Hal ini masih jauh dari target pembangunan berkelanjutan (SDGs) yaitu Zero Hunger pada tahun 2030,” ujar Arif.
Sementara itu, kata Arif, Skor Global Food Security Index (GFSI) yang menunjukkan ketahanan pangan suatu negara menyatakan bahwa pada tahun 2022, Indonesia menempati ranking 63 dari 113 negara, dengan skor 60,2. Aspek keberlanjutan (sustainability) meningkat dengan cukup signifikan, sedangkan aspek ketersediaan (availability) mengalami penurunan.
Hal tersebut menjadi tantangan di bidang pangan yang tentunya juga perlu di hadapi bersama adalah terkait Availability, Quality and Safety, Affordability, dan Sustainability (AQAS). “Untuk menghadapi hal tersebut, kita tidak hanya perlu mengintensifkan precision farming, tapi juga precision post harvesting terutama bertujuan untuk menurunkan loss, karena berdasarkan Food Waste Index Report UNEP, sekitar 14% dari total produksi merupakan food loss,” lanjut Arif.
Menyadari besarnya angka food waste tersebut, beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah memperpanjang umur simpan komoditi bahan pangan dengan penerapan teknologi dryer, cold storage telah dilakukan di Indonesia.
Guna menjaga ketersediaan bahan pangan di masyarakat, Bulog dan BUMN Pangan bersama Bapana terus berupaya dalam penguatan CPP, dengan stok level masing-masing komoditas ditargetkan bisa 5-10% dari kebutuhan atau market share nasional untuk dapat intervensi harga pasar.
Dia menegaskan, untuk mengatasi krisis komoditi bahan pangan tersebut, dalam beberapa kesempatan Presiden telah menyampaikan arahan agar segera implementasi penanaman GMO untuk jagung dan kedelai, selain itu, percepatan swasembada gula juga agar segera dilakukan tanpa ada ekslusivitas Kementerian/Lembaga.
“Badan Pangan Nasional siap bersinergi dan berkolaborasi dengan sektor pentahelix ABGCM (Academics, Business, Government, Community and Media) untuk implementasi GMO dan mendukung swasembada gula tersebutm,” tegas Arif.
Dalam implementasi inovasi dan teknologi, Arif menyatakan dukungannya kepada para periset BRIN yang telah melakukan penelitian yang bertujuan meningkatkan ketahanan pangan. “Kami juga mendukung upaya Bapak, Ibu peneliti di BRIN dalam melaksanakan riset dan inovasi untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Kolaborasi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan untuk mengatasi tantangan dalam sektor pertanian dan mencapai tujuan ketahanan pangan yang berdasarkan kemandirian dan kedaulatan pangan,” pungkas Arif.
Sumber: brin.go.id