Harga sawit memang sulit dikendalikan. Tetapi faktor pembentuk harganya dapat dikelola untuk mencegah harga jatuh. Disinila perlunya keseimbangan antara ekspor dan pemakaian domestik.
Kalanga pelaku usaha dan petani cukup panik menghadapi anjloknya harga sawit menjelang tutup tahun 2018. Di tingkat petani, harga merosot tajam menjadiRp 500 per kilogram. Begitupula di pasar global, harga CPO di bawah RM 2.000/ton. Di Pasar Rotterdam, harga melorot tajam menjadi US$ 420/ton. Mengapa harga yang menunjukkan tren kenaikan di kuartal pertama, tiba-tiba longsor?
Sejumlah pihak menengarai ada kaitannya dengan perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok. Penyebab lain, tingginya stok CPO akibat kebijakan tarif impor di negara tujuan utama seperti India.
“Jangan dipusingkan dengan harga. Karena harga tidak bisa dikontrol. Kondisi seperti ini pernah terjadi di era 1970,” kata Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam sebuah diskusi di awal Desember 2018.
Sawit ini, kata Joko Supriyono, berbeda dengan komoditas lain seperti batubara dan minyak bumi. Di saat stok berlebih, dapat dihentikan produksinya. Berbeda dengan sawit yang akan terus panen.
Joko Supriyono menyebutkan, kebijakan pemerintah sudah tepat untuk memperluas pemakaian biodiesel dan penghapusan sementara pungutan ekspor. “Yang tidak bisa dikontrol adalah harga. Tetapi kita perlu mengantisipasi persoalan harga, caranya membuat manajemen biaya,” jelas Joko.
Ada tiga faktor pembentuk harga yang dapat dikendalikan yaitu suplai dan permintaan, inventory, dan biaya produksi. “Faktor pembentuk harga inilah yang dapat dikelola pelaku usaha,” paparnya.
Faktor pertama yaitu suplai dan permintaan dapat dilakukan dengan menyeimbangkan ekspor serta konsumsi domestik. Poin utama bukanlah menghabiskan CPO di dalam negeri. Tahun ini merupakan pengecualian karena terjadi oversuplai secara fundamental. Disinilah peranan hilirisasi untuk menyeimbangkan antara ekspor dan domestik. “Kita tergantung 70 persen di pasar ekspor. Tapi kalau bisa menyeimbangkan dengan konsumsi domestik, maka posisi bargaining menjadi lebih bagus,” ujarnya.
Dari segi suplai, Indonesia tidak perlu takut meningkatkan produksi sawit. Menurut Joko, permintaan minyak nabati naik tiap tahun rerata 6 juta ton. Dari jumlah tadi diisi oleh minyak sawit sebesar 2,5 juta ton dan minyak nabati lain berjumlah 3,5 juta ton. Pada 2018, memang terjadi ovesuplai sawit di pasar global hingga 4 juta ton. Faktor pemicu stok dipengaruhi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. “Indonesia tidak boleh takut dengan tingginya produksi sawit. Jika produksi dibatasi, maka produsen minyak nabati lain yang diuntungkan. Oleh karena itu, kita harus fight di pasar global,” ujar Joko Supriyono.