JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Putusan Pengadilan Negeri (PN) Kelas IIB Bangkinang, Kabupaten Kampar No.38/Pdt.G/2013/PN.BKN tertanggal 10 April 2014 dinilai kontroversial serta penuh kejanggalan karena berpotensi merugikan negara dan menguntungkan pihak tertentu. Putusan ini memenangkan gugatan LSM Riau Madani terhadap PTPN V terkait kepemilikan kebun perusahaan seluas 2.823,52 hektare di Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
“Banyak keanehan dari putusan PN Bangkinang ini. Putusan ini bukan untuk Riau Madani (Penggugat) melainkan melayani kepentingan beking,” kata Sadino, Pengamat Hukum Perkebunan, dalam acara diskusi “Meninjau Putusan Hukum Sengketa Lahan Sawit di Sei Batu Langkah”, di Jakarta, Senin (5 Februari 2018).
Putusan PN Bangkinang diperkuat dalam Putusan MA tanggal 23 Februari 2016 dengan nomor perkara 608 PK/PDT/2015 dengan amar putusan ditolak. Walhasil, putusan MA tersebut menguatkan putusan PN Bangkinang Nomor W4.U7/277/HK.02/I/2018 tanggal 26 Januari 2018 tentang sengketa lahan antara PTPN V (Persero) dengan Yayasan Riau Madani, memerintahkan eksekusi lahan seluas 2.823,52 Ha.
Putusan yang dinilai kontroversial berada dalam angka 4 ama putusan berbunyi, “ surat tanah di atas lahan 2.823,52 hektare tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”
Selanjutnya dalam angka 5 amar putusan berbunyi “menghukum tergugat supaya mengosongkan objek sengketa dan mengembalikan objek sengketa kepada status dan fungsinya kembali sebagai kawasan hutan dengan cara melakukan penebangan pohon kelapa sawit di atas areal seluas 2.823,52 Ha dan kemudian melakukan penanaman kembali dengan menanam tanaman akasia (hutan tanaman industry) serta merawat dan memupuknya sampai tumbuh dengan sempurna.”
Sadino mengatakan putusan PN Bangkinang sangatlah kontroversial karena menyatakan surat tanah seluas 2.823, 52 hektare tidak sah dan tidak punya kekuatan hukum yang mengikat. “Pengadilan ini tidak punya hak untuk menyatakan sertifikat tidak sah. Itu bukan ranah mereka,” tegas Sadino.
Padahal lahan yang dipersengketakan berada di dua kabupaten, pertama areal berlokasi di Desa Kabun, Kabupaten Rokan Hulu, Riau dan Desa Sungai Agung, Kecamatan Tapung,Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Di kedua desa inilah terdapat unit Kebun Sei Batu Langkah milik PTPN V masing-masing seluas 2.539 hektare di Desa Kabun dan 594 hektare di Desa Sungai Agung.
Sadino menyebutkan pengajuan gugatan tidaklah tepat karena wilayah gugatan seharusnya di Pengadilan Negeri di Rokan Hulu. “Tetapi posisi pengadilan gugatan di Kampar. Sementara itu, objek gugatan seluas 2.800 hektar tadi berada di Rokan Hulu. Putusan eksekusi menjadi menjadi aneh karena lokasi tidak jelas,” kata Sadino.
Keterangan Sadino diperkuat pernyataan pemerintah Kabupaten Rokan Hulu yang mempertanyakan putusan PN Bangkinang tersebut. Juni Safrin, Asisten I Kabupaten Rokan Hulu mengatakan, “Surat PN Bangkinang eksekusi berada di Desa Sungai Agung, Kampar. Sedangkah dari administrasi (perkebunan PTPN V) masuk desa Kabun, Rokan Hulu.”
Putusan berikutnya yang sangat janggal adalah PTPN V diminta mengosongkan objek sengketa dan mengembalikan objek sengketa kepada status dan fungsinya sebagai kawasan hutan. Selanjutnya, anak usaha holding PTPN III Nusantara harus menebang pohon sawit di atas areal sengketa seluas 2.823,52 hektare.
Sementara itu, dikatakan Sadino, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menhut bernomor 878/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau bahwa dari 2.823,52 hektare ternyata sekitar 2.139 hektare telah berstatus Areal Penggunaan Lain (APL). “Dalam proses peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung, SK sudah dilampirkan yang menyatakan areal sengketa tidak lagi untuk HTI tetapi non kehutanan,” jelas Sadino.
Sadino menyatakan putusan janggal lain mengenai kewajiban bagi PTPN V untuk melakukan penanaman kembali (reboisasi) dengan menanam akasia atau hutan tanaman industri serta merawat dan memupuknya sampai tumbuh sempurna selayaknya hutan tanaman industri.
“Jika objek yang akan dieksekusi menjadi kawasan hutan industri siapakah pemiliknya nanti. Kemudian siapakah yang membiayai penebangan sawit dan siapa pula yang membiayai penanaman tanaman akasia merawat dan memupuknya,” tanya Sadino.
Sadino menambahkan, “Sesungguhnya putusan ini untuk kepentingan siapa?. Karena harus melakukan penanaman akasia dengan mengeluarkan modal lebih kurang Rp 10 juta/per hektar pada saat awal penanaman. Untuk merawat dan memupuknya membutuhkan modal besar lagi lebih kurang Rp 15 juta/per hektar dan keseluruhan lebih kurang Rp 55 Miliar.”
Sadino menambahkan memang eksekusi PN Bangkinang ini belum dapat dilakukan mengingat adanya ada gugatan pihak lain yang masih dalam proses.
“Jika mau fair, eksekusi ini tidak bisa dilakukan karena masih ada gugatan perlawanan di PN Bangkinang dan gugatan perdata di PN Rokan Hulu,” katanya.
Razali Datuk Paduko Tuan, perwakilan masyarakat adat Desan Kabun, juga menegaskan bahwa masyarakat setempat menolak eksekusi karena mereka bakalan kehilangan pendapatan dan tidak bisa lagi bekerja. “Kemitraan masyarakat melalui plasma dengan PTPN V telah berjalan baik selama ini. Jangan ganggu masyarakat kami,” tegasnya.