Moratorium buat saya adalah jalan terakhir. Jalan yang ditempuh saat jalan tengah lain sudah tidak bisa lagi dilalui. Saya menegaskan tentang konsep REDD atau Reduction of Emision from Deforestation and Degradation yang hingga kini belum juga dijalankan oleh negara-negara maju yang menyepakatinya. Skema pengurangan emisi, pengurangan penebangan hutan dan degradasi ini telah disepakati oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam skema ini, negara-negara maju wajib membayar sejumlah uang kepada negara-negara pemilik hutan yang memelihara dan mempertahankan hutannya. Kenapa tidak memastikan saja dahulu skema ini berjalan baik ketimbang membuat langkah baru yang belum tentu juga sempurna pelaksanaanya.
Namun, pendapat saya seolah ditiup angin. Para pengundang tetap menginginkan saya dan rekan lain menyetujui saja skema yang mereka ajukan: moraturium. Mereka katakan bahwa ini untuk kebaikan kita semua. Saya sadari itu, bahwa dalam penyelamatan lingkungan, tidak kecuali saya. Permasalahannya adalah bagaimana kita mencari jalan tengah yang tidak berat sebelah.
Sekarang seluruh dunia menyadari adanya bahaya pemanasan bumi. Pada saat kita menyadarinya, seyogianya semua orang juga bersedia ikut memikul beban, tanpa kecuali. Juga pada semua industri. Kalau industri kelapa sawit mau dibebani, saya setuju saja. Tetapi bebani jugalah industri yang lain. Bagaimana caranya? Bebani juga industri kedelai, industri minyak kanola, industri minyak bunga matahari dengan beban yang kira-kira mereka pun bisa pikul sama beratnya dengan apa yang kami pikul. Lahan tanaman kedelai itu bisa juga dihutankan kembali sebagian. Misalnya satiap tahun satu sampai dua persen dari total keseluruhan wilayah kebun kedelai. Yang menjadi hutan ini berarti menyerap karbon sehingga mengurangi pemanasan global. Peranan industri kedelai yang menebang hutan ratusan tahun yang lalu harus diminta pertangungjawabanya juga.
Sumber : Derom Bangun