Bagi Unilever sendiri peristiwa itu bukanlah kejadian mendadak atau tiba-tiba. Rupanya masalah ini berawal dari laporan Greenpeace pada tahun 2008 yang berjudul “Burning Borneo”. Laporan itu menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan yang berada dibawah naungan Sinar Mas maupun yang menjadi kelompok Sinar Mas melakukan kegiatan pembukaan kebun dengan cara-cara yang merusak lingkungan, yaitu dengan membakar atau memasuki lahan gambut atau merusak habitat satwa langka seperti orang utan. Unilever melakukan penelitian terhadap laporan itu dengan mengirimkan tim pengamat dilapangan, baik di Kalimantan maupun di Sumatera. Laporan tim ahli ini membenarkan akan hal-hal yang disebutkan oleh Greenpeace. Dengan dasar itulah Unilever melakukan tindakan membekukan atau tidak melanjutkan kontrak pembelian CPO dari Sinar Mas.
Dalam suatu rapat dewan pengurus RSPO di Bali tanggal 25 Februari 2010 saya mempertanyakan hal itu secara resmi didalam rapat. Saya ungkapkan bahwa peristiwa itu memberikan dampak yang kurang baik bagi Indonesia karena timbul berbagai tanggapan yang pada umumnya negatif. Kesan saya, berita itu menarik perhatian kalangan luas, sampai-sampai surat kabar didaerah memuat persoalan itu. Selaku anggota dewan penggurus yang mewakili pihak perkebunan Indonesia, saya merasa wajib menanyakan hal itu. Rapat yang dipimpin oleh Jan Kees Vis yang adalah orang Unilever membicarakan hal itu hanya sebagai agenda tambahan.
Sumber : Derom Bangun