Itulah sebabnya, Gapki di Riau menjadi sasaran keluh kesah
dan segala tumpahan perasaan yang serba
tak menentu itu. Petani semakin bingung, pemerintah daerah pun menanyakan
kepada Gapki apa yang harus diperbuat untuk mengatasi persoalan ini. Lalu Gapki
cabang Riau pikir bagaimana cara menjawab ini. Mereka merancang sebuah acara
seminar yang bertajuk “Ada apa denagab sawit?” Panitia mengundang saya dan
pengamat ekonomi Faisal Basri untuk bicara. Acara seminar diadakan di Hotel
Ibis, Pekanbaru, 20 Oktober 2008.
Dalam acara itu hadir para petani dan pengusaha-pengusaha anggota Gapki,
ditambah dari unsur-unsur pemerintah dan wartawan dari beberapa media. Pukulan
harga yang jatuh secara cepat itu rupanya cukup membuat orang-orang bingung, apakah
kebun sawit akan bertahan lama atau tamat riwayatnya bersamaan dengan krisis harga saat itu. Banyak yang merasa mulai
ragu apakah sawit bisa dijadikan andalan penghasilan keluarga. Penyebabnya
adalah harga tandan buah segar yang pada awal tahun 2008 lebih dari Rp. 2000,
pada september hanya Rp. 400 – 500 perkilo.
Karena fokus perhatian Faisal Basri lebih makro, maka saya bilang kepadanya supaya bicara lebih dahulu. Sementara itu saya akan menjawab pertanyaan yang lebih mikro, lebih menyangkut persoalan teknis dunia sawit. Dalam ceramahnya, Faisal Basri memeulai dengan approach keagamaan, karena dia tahu peserta seminar rata-rata tertekan dalam situasi itu. Dia bilang “Saya dengar ada petani yang stres. Tapi saya yakin yang begitu tidak pernah baca kitab suci”, katanya. Pengamat ekonomi terkemuka dari Universitas Indonesia itu ingin para petani dan pengamat kelapa sawit yang datang keacara memahami bahwa agama dan Tuhan lah tempat bersandar dalam keadaan tersulit.
Sumber : Derom Bangun