Saya pun akhirnya pulang sambil memikirkan kembali kata-kata Andar Manik. Dalam kondisi ekonomi keluarga yang agak menurun memang sebaiknya saya pilih bekerja di perusahaan yang bisa membayar saya gaji tinggi. Tetapi pertanyaanya dimana? Terbesit dalam benak saya kenangan masa SMA. Saat itu, kalau saya pergi naik naik sepeda dari Padang Bulan ke Jalan Seram, akan melintasi rel kereta api di jalan. Sekarang jalan Nusantara namanya. Saya sering distop palang kereta api, berhenti disitu menungu kereta melintas. Saat itu saya melihat gerbong-gerbong tangki minyak sawit bercat hitam dengan tulisan Socfin berwarna putih. Waktu itu saya sudah terkesan dengan tulisan itu dan menduga bahwa Socfin adalah perusahaan perkebunan yang bonafide.
Saat tiba dirumah, saya ambil mesin ketik merek Underwood yang saya bawa kembali dari Bandung. Saya ketik dengan dua jari, untuk menulis lamaran pada tanggal 8 November 1966. Kemudian saya antar sendiri surat lamaran tersebut ke PPN Ex Socfin. Dimana saya diterima oleh A.S. Ritonga, S.H., pegawai bagian umum, dan dua bawahannya, Abdullah Umar dan Tengku Fahri. Ketika tahu saya sarjana, mereka merespon dengan nada minor.
“Sudah ada puluhan sarjana yang melamar ke sini”, kata Ritonga kepada saya.
Saya hanya mengembangkan senyum kepada mereka sambil mengatakan, “Cobalah sampaikan dulu”.
Keahlian saya sebenarnya memang sesuai dengan spesifikasi yang mereka butuhkan. Bahkan kabar yang beredar menyebutkan ada dua perusahaan yang membutuhkan insinyur kimia, satu PT. Dwikora dan lainnya PPNEx socfin, tempat saya mengirimkan lamaran. Selang beberapa waktu setelah saya mengirimkan lamaran, ada pangilan untuk mengikuti wawancara di PPN Ex Socfin. Saya diminta menemui langsung Direktur PPN Ex Socfin Roga Ginting. Sebetulnya pak Roga tetara di zaman revolusi fisik, tetapi kemudian dia dikaryakan sebagai direktur perkebunan saat nasionalisasi diberlakukan pada perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara era 1950-an.
Sumber : Derom Bangun