Tak lama kemudianhasil kerja tim yang telah disusun dalam sebuah konsep pengendalian pencemaran itu dijadikan dasar penyusunan Surat Keputusan Gubernur Sumut. Berdasarkan usulan dalam buku itu, semua pabrik kelapa sawit harus menurunkan limbahnya, tidak boleh melampaui 2.500 ppm BOD (biochemical orygen demand). Jadi, dalam satu kilo gram air hanya di izinkan 2,5 gram BOD-nya. Menurut SK gubernur itu, pencemaran limbah kelapa sawit wajib diturunkan menjadi 500 ppm pada tahap akhir.
Ternyata penetapan SK Gubernur Sumut tentang pengendalian pencemaran itu menjadi trend setter bagi daerah lain. Tak lama setelah perda di Sumut di berlakukan, menyusul Gubernur Lampung, Sumatera Selatan, dan Riau memberlakukan peraturan serupa. Seperti teori domino, penetapan peraturan tentang pengendalian pencemaran lingkungan ternyata tak hanya berhenti di wilayah Sumatera saja. Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim pun menerbitkan peraturan yang sama, yang diberlakukan bagi seluruh wilayah Republi Indonesia.
Tentu sejak awal tak pernah terlintas dari pikiran saya kalau hasil kerja tim pengendalian pencemaran akan menjadi gelindingan bola salju yang semakin besar. Kami hanya ingin persoalan limbah bisa diatasi sedini mungkin dan menghindari resiko yang lebih besar bagi lingkungan. Benar diawal, usulan pengelolaan limbah kurang ditangapi serius. Misalnya, ketika mengusulkan agar di PT. Socfin dibandingkan sarana pengeloahan limbah, pihak perusahaan sedikit enggan mengeluarkan biaya ekstra untuk itu. Itu bisa dipahami dari aspek efisiensi keuangan. Namun, usulan membuat sarana pengelolahan limbah akhirnya dilakukan juga.
Sumber : Derom Bangun