Setelah berputar-putar beberpa waktu lamanya diatas Lautan Hindia di sekitar Singkil, kami pun berhasil menemukan tongkang tersebut. Ternyata penarik tongkang itu sudah bisa kembali menderknya, kelihatan bergerak dari tengah laut menuju muara sungai. Lega rasanya. Dari atas saya melihat mereka melambai-lambaikan tangannya, tanda keadaaan bisa diatasi. Kami mendarat dikebun Lae Butar, mengabari manajemen kenbun Christoph Siregar, bahwa tongkang sudah aman dan meminta dia untuk mengabari keluarga petugas tongkang itu bahwa bahwa tongkang sudah ditemukan selamat. Paling lama dua belas jam kemudian, keesokan harinya, mereka sudah bisa pulang kerumah.
Tugas selesai dilaksanakan.
Giliran kami terbang pulang. Hari sudah hampir gelap dan cuaca buruk betul.
Tapi kami harus tetap terbang pulang. Pedoman dipesawat hanyalah kompas yang
menggantung di atas kokpit. Selai kompas, ada pula altimeter untuk mengukur
ketinggian. Selain dua alat itu, kami mengandalkan petunjuk arah pada komunikasi
yang tersambung dengan menara pengawas Medan.
Dalam keadaan seperti itu kami harus memperhatikan posisi dua gunung, yakni
Gunung Sinabung dan Gunung Sibanyak. Gunung Sinabung menjulang setinggi 7.500
kaki, sementara Gunung Sibanyak 6.500 kaki. Pesawat yang kami gunakan saat
itubelum Cessna Golden Eagle 421, melainkan Cessna tipe 337 yang kabinnya tak
bertekanan. Jadi, apabila pesawat ini dibawa pada ketinggian lebih dari 9.000
kaki, udara didalam kokpit akan menipis, sama seperti udara diluar pesawat yang
menyebabkan napas agak sesak. Mau tidak mau kami harus menempuh risiko terbang melintas celah
kedua gunung itu. Kalau cuaca baik, lintasan diantara kedua gunung ini terlihat
indah. Kota Berastagi dengan bukit Gundaling tampak di kaki Gunung Sibanyak dan
Danau Lau Kawar tertengger di lereng Gunung Sinabung. Kampung Puyung, tempat
kelahiran saya, juga dilewati. Bebeapa kerabat saya selalu bercerita mereka
bisa tahu kalau saya sedang terbang ke Lae Butar. Mereka mengqaku mengenal
pesawat Socfindo.
Sumber : Derom Bangun