Pesawat naas yang dikemudikan Kapten Dewanto itu mengangkut 6 orang, termasuk pilot. Pesawat baru bisa ditemukan delapan tahun kemudian oleh penduduk yang pergi ke hutanuntuk mencari rotan. Joefly J. Bachroen, putra jusuf Bachroen, besama keluarga korban lainnya mengunjungi lokasi jatuhnya pesawat. Sebenarnya jasad yang sudah menjadi tulang-benulang itu ketika ditemukan penduduk masih utuh. Namun mereka tak sabar untuk mengumpulkan kerangka-kerangka para penumpang menjadi satu, sementara kerangka pilot masih terpisah. Tangan dan cincin milik Jusuf Bachroen masih bisa dikenali.
“Itulah kebesaran Tuhan, Pak”, ujar Joefly kepada saya di kantor GAPKI Jakarta beberapa tahun kemudian. Saya terharu dan kembali mengingat peristiwa itu.
Masih soal pencarian dengan pesawat, pernah juga suatu sore saya dikontak oleh perusahaan yang mengambarkan bahwa sebuah tongkang telah hanyut. Tongkang itu berfungsi mengangkut minyak sawit dari kebun Lae Butar melalui sungai ke Pelabuhan Singkil yang terletak di luar muara. Kemungkinan besar tongkang tersebut terlepas dari tambatan motor boat-nya dan kemudian hanyut. Ada dua petugas di tongkang itu.
Sore itu juga saya langsung minta mengontak Kapten Sutrisno. Kami pun bergegas terbang, mencari tongkang yang hilang. Sebetulnya ada peraturan yang melarang pesawat-pesawat kecil terbang sesudah pukul enam sore. Waktu itu kami take off pukul 16.30. Kalau semua lancar dan cuaca baik, kami bisa kejar kembali mendarat pukul 18.00. Pesawat yang kami tumpangi terbang melayang, mengelilingi pantai. Sebelum terbang, terlebih dahulu kami membawa makanan ringan berupa roti dalam kaleng dan air dengan tujuan apa bila tongkang ditemukan, kami akan jatuhkan makanan itu untuk bekal petugas yang berada diatas tongkang.
Sumber : Derom Bangun