Saya kemudian menemui pemiliknya untuk berunding. Benar, dia mau menjual kebun itu karena ingin membuka lebih besar ditempat lain. Menetapkan harga yang sesuai dengan kondisi kebun berlangsung cukup cepat.
Diatas kertas luas kebun ada sekitar 820 hektar, tapi dilapangan hanya 450 hektar. Hak guna usahanya meliputi areal seluas 820 hektar. Sebagian tidak pernah ditanami, sebagian dikuasai penduduk, sebagian jurang. Jadi, hanya 450 hektar yang jadi kebun. Itu pun sebagian sudah rusak. Yang agak bagus kira-kira 100 hektar. Yang rusak sudah ditanami cabai, jagung, dan padi oleh penduduk. Bahkan ada tanaman pepaya dan kelapa.
“Bagaimana status mereka?” tanya saya.
“Mereka hanya pinjam, bisa dikeluarkan”, kata Abubakar.
Dalam hati saya membantin, inilah susahnya. Warga tentu tak bisa begitu saja diusir kendati saya pemilik sah dari lahan itu. Aspek kemanusiaan perlu dipertimbangkan. Saya tak ingin masalah ini menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu meledak dan pada akhirnya merugikan kedua belah pihak. Untuk mengatasinya, saya harus mencadangkan dana untuk itu. Di Sumatera Utara sering kali timbul sengketa tanah akibat dari kesalahpahaman atau penafsiran yang berbeda atas kepemilikan tanah. Dengan kondisi kebun demikian, mau tak mau saya harus menawar harga lebih rendah dari harga semula. Setelah bernegosiasi, akhirnya Abubakar pun setuju.
Sumber : Derom Bangun