Yang terkesan adalah adanya perhatian Perdana Menteri kepada bidang minyak nabati ini karena beliau sempat menjelaskan seperti dikutip dalam press release itu, bahwa Pakistan setiap tahun memerlukan 2,9 juta minyak makan ataupun minyak nabati yang sesuai untuk konsumsi. Produksi di dalam negrinya hanya 860.000 ton atau tidak sampai 1 juta ton, yang berati bahwa sekitar 2 juta ton harus di impor dari negara lain. Hal itu menunjukan bagaimana besarnya peluang Indonesia untuk meningkatkan perdagangan, khususnya perdagangan minyak sawit ke negara yang menyatakan bersaudara erat dengan Indonesia.
Selain itu, Pakistan juga menjadi pintu masuk ke beberpa negara lain seperti Turkmenistan, Uzbekistan dan Kazakhstan karena negara-negara tersebut tak memiliki pelabuhan laut. Oleh karena itu, Pakistan menjadi penting dan strategis dalam kaitannya dengan bisnis minyak sawit. Bisa dibayangkan betapa keuntungan yang bisa didapat dari produsen minyak nabati Indonesia apabila berhasil menembus pasaran mereka.
Tapi bisa juga dipahami kenapa Indonesia tak juga membuka pintu bebas bea buat jeruk kino. Soalnya hal ini mengandung implikasi yang cukup serius. Pembukaan pintu bebas bea impor buat jeruk kino bisa memukul pedagang jeruk lokal. Jeruk dari tiongkok sudah dikurangi bea masuknya dan menjadi pesaing berat untuk jeruk lokal. Ada yang menilai, hanya lapisan menengah keatas yang membeli jeruk tiongkok ini. Jika jeruk kino dari Pakistan dibebaskan bea masuknya, ada kekhawatiran menjadi pesaing untuk pesaing untuk lapisan menengah ke ke bawah. Ini tentu bisa memberi pukulan besar kepada petani jeruk seperti yang ditanah karo. Adalah kewajiban pemerintah untuk melindungi petani lokal. Melindungi bisa diartikan secara luas, menjaga agar jeruk dari negara lain tidak masuk atau mendukung kegiatan pembudidayaan jeruk lokal oleh petani?
Sumber : Derom Bangun