Pertemuan dengan pihak Shell berlangsung lancar. Saya berupaya keras melobi pihak Shell dan menjelaskan kepada merekatentang potensi tambang yang kami miliki. Pak Imral tak bisa sepenuhnya berkonsentrasi mengikuti perundingan karena keingginannya untuk merokok. Lucu juga. Waktu itu dia pandai mencari-cari alasan untuk diizinkan merokok. Dia pura-pura menanyakan dimana asbak dan memang dilarang merokok, dia pun keluar ruangan sambil bilang, “Tidak ada asbak disini”. Dia pun keluar merokok buru-buru.
Betapapun pertuan berlangsung mulus, pihak Shell tampaknya belum begitu tertarik karena saya terus terang tentang kadar kalori batubara dan kadar belerangnya. Saya dengar Shell membatasi kegitan tambang batubara karena masalah pencemaran lingkungan hidup. Hasil analisis laboratorium kami bawa kehadapan puhak Shell. Mereka bilang akan mempertimbangkannya. Mungkin sebagai cara untuk menolak secara halus. Kami menemukan jalan buntu lagi. Tapi kami tak menyerah begitu saja. Selain pertemuan dengan Shell, kami pun balik berunding.
“Mau diapakan perusahaan tambang ini?” kata Pak Imral.
“Kita jual saja”, kata saya.
“Sama siapa?” tanya Imral.
Saya mencari-cari kira-kira siapa yang berminat dalam usaha pertambangan yang bermodal besar itu. Setelah lama berpikir, tiba-tiba muncul dalam benak saya nama Aburizal Bakrie (Ical), seorang pengusaha sukses dan sesama alumnus ITB. Tapi bagaimana cara menjalin kontrak dengannya?
Sumber : Derom Bangun