Bali – Sawit Indonesia. Produsen sawit Indonesia tidak ingin bergantung kepada pembeli dari Uni Eropa. Banyaknya tuntutan dan persyaratan membuat eksportir berpikir dua kali. Sebagai gantinya dapat dialihkan ke pasar Eropa Timur, Timur Tengah, dan Asia Selatan.
“Eropa ini minta bermacam-macam standar. Tapi kalau beli (sawit) sedikit,” keluh Amran Sulaiman, Menteri Pertanian, pada akhir November sehari sebelum Konferensi Sawit Tahunan GAPKI.
Menurutnya pengusaha sawit dapat mengalihkan pasarnya ke sejumlah negara pembeli lain seperti Pakistan, Timur Tengah, dan Bangladesh. Sebelum masuk ke pasar Eropa, standar yang mereka minta cukup banyak. Sayangnya, jumlah pembelian dari Eropa tidak setimpal dengan tuntutannya.
“Produsen bisa kurangi ekspor kesana. Atau bahkan setop sekalian,” ancam Amran.
Uni Eropa adalah konsumen produk sawit asal Indonesia yang menempati urutan kedua terbanyak setelah India. Pembeli dari kawasan Uni Eropa mengimpor 3 juta ton per tahun . Belum termasuk ekspor Malaysia yang diperkirakan 2,5 juta ton ke Uni Eropa. Data Fediol, federasi industri minyak nabati dan pakan Uni Eropa, menyebutkan dari periode 2010-2014 sekitar 45% konsumsi minyak sawit dipakai untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Industri makanan memanfaatkan produk sawit sebesar 35%.
Lima tahun terakhir, eksportir kesulitan memenuhi persyaratan untuk masuk pasar Uni Eropa. Syarat ini berkaitan isu lingkungan sesuai keinginan otoritas setempat. Sebagai contoh, produk sawit menjadi bahan baku biodiesel di Jerman wajib mengantongi sertifikat ISCC. Selanjutnya pada 2020, seluruh negara Uni Eropa sepakat menggunakan minyak sawit sesuai standar lingkungan yang berkelanjutan ( sustainability).
Hambatan lain berasal dari kebijakan perdagangan yang berupa pajak impor.Di Perancis, sejumlah senator mengusulkan penetapan pajak impor tambahan produk sawit. Usulan pajak bersifat progresif sebesar 300 euro per ton pada 2017, 500 euro per ton tahun 2018, 700 euro per ton tahun 2019 dan 900 euro per ton tahun 2020. Setelah dilobi, nilai pajak dipangkas menjadi 30 euro per ton pada tahun 2017, 50 euro per ton tahun 2018, 70 euro per ton tahun 2019 dan 90 euro per ton tahun 2020. Menjelang akhir tahun 2016, Parlemen Perancis sepakat membatalkan usulan pajak impor.
Lukita Dinarsyah Tuwo, Sekretaris Jenderal Kementerian Kordinator bidang Perekonomian, menjelaskan bahwa pemerintah terus memonitor isu pajak impor sawit di Perancis. Memang, pembelian minyak sawit dari Negara Menara Eiffel ini sekitar 50 ribu ton saja.
“Tapi, kami tidak ingin langkah Perancis menjalar ke negara lain. Kalau dibebankan supertax, harga CPO tidak lagi kompetitif dengan minyak nabati lain seperti minyak kedelai,” kata Lukita.
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menuturkan konsumsi minyak sawit di Eropa lebih banyak untuk produk non food karena banyak makanan berlabelkan “without palm oil” “Uni Eropa.
(Ulasan lengkap silakan baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Desember 2016 -15 Januari 2017)