Jika persepsi negatif terhadap sawit terus dibiarkan, nasib industri sawit di ujung tanduk. Gerakan advokasi sawit melalui Buku Mitos vs Fakta Industri Sawit sebaiknya diperluas sampai ke luar negeri.
Kian masifnya kampanye negatif sawit saat ini bukan hanya dalam tingkat wacana, melainkan sudah masuk ke ranah kebijakan. Untuk itu, diperlukan perlawanan yang tidak hanya lewat dialog dan perundingan, tetapi juga melalui kajian dan data ilmiah yang meyakinkan lewat buku.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) di acara Advokasi Sawit dan Peluncuran Buku Mitos Vs Fakta Sawit Edisi-4 di Jakarta, Senin (14/8/2023).
Kegiatan itu digelar PASPI dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) serta didukung oleh Majalah Sawit Indonesia.
“Persepsi negatif terhadap sawit telah ditranskripsikan dalam bentuk berbagai kebijakan diberbagai negara importir minyak sawit yang bersifat menghambat, melarang, dan mempersulit perdagangan produk sawit secara internasional,” ujar Tungkot Sipayung.
Dia menuturkan buku tersebut merupakan buku edisi keempat yang dibuat PASPI. Buku itu memuat fakta berbasis data dan kajian empiris untuk melawan kampanye negatif dan mitos yang menyudutkan sawit baik di bidang ekonomi, sosial, kesehatan dan gizi, maupun lingkungan.
Buku bisa menjadi alat diplomasi sawit, terutama dalam berhadapan dengan Uni Eropa (UE). Seperti buku-buku yang diterbitkan sebelumnya, buku terbaru tersebut akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sehingga dapat dimanfaatkan sebagai alat diplomasi perwakilan-perwakilan pemerintah di negara lain, terutama di negara-negara anggota UE.
Seperti diketahui, UE sendiri telah menelurkan Kesepakatan Hijau Uni Eropa (UE) untuk mencapai nol emisi karbon pada tahun 2050 berdasarkan Perjanjian Paris. Kesepakatan Hijau itu memayungi kebijakan UE lainnya, seperti Arah Energi Terbarukan (RED) II, Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon (CBAM), dan Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi UE (EUDR).
“Kami juga akan mempertimbangkan buku-buku itu diterjemahkan ke bahasa Mandarin dan India mengingat China dan India merupakan importir minyak sawit Indonesia terbesar,” katanya.
Deputi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Mahmud mengatakan, Indonesia telah berulang kali menghadapi hambatan dagang dari UE dalam konteks isu keberlanjutan.
Dia mengungkapkan, lewat EUDR, sawit Indonesia yang sebesar 3,5 juta ton terancam kehilangan pasar di negara-negara dunia biru. Sebab, EUDR mencap sawit Indonesia tidak ramah lingkungan dan melanggengkan deforestasi.
“Kita tidak mau negara kita dicap high risk, itu yang kita tentang. Karena seoolah-olah kalau high risk itu dibenak orang-orang negara lain, seolah-olah [Indonesia] negara barbar yang tidak punya ketentuan menjaga alam kita. Yang tidak punya ketentuan menghalangi deforestasi di negara kita. Padahal regulasi kita sudah banyak sekali yang mendorong no deforestation bisa terwujud,” tutur Musdhalifah.
Ketua Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Bungaran Saragih menjelaskan jika persepsi negatif terhadap sawit terus dibiarkan, maka akan mempertaruhkan nasib sekitar Rp1.600 triliun nilai aset kebun sawit nasional dan lebih dari Rp1.000 triliun nilai aset industri hilir sawit.
Dia mengungkapkan dampak industri sawit tak diragukan lagi begitu besar terhadap perekonomian nasional. Pendapatan negara mencapai US$50 miliar yang bersumber dari ekspor sawit US$39 miliar dan penghematan devisa dari mandatori biodesel sebesar US$10,3 miliar.
“Sawit berkontribusi besar dalam menciptakan surplus neraca perdagangan yang kita nikmati 3 tahun terakhir khususnya selama Covid-19,” tutur Bungaran.
Mengenai isu keberlanjutan sawit, menurut Mantan Menteri Pertanian RI (2000-2004) itu, pelaku usaha di indsutri sawit Indonesia sejatinya tak sedikit yang telah memiliki sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) pada sejak 2011. Bungaran juga menuturkan, Indonesia pun sejak 2008 terus mendorong Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). “50 persen minyak sawit global yang tersertifikasi sustainability atau cspo berasal dari negeri kita,” jelasnya.
Masalahnya, kata Bungaran, keberlanjutan yang dituntut Uni Eropa adalah keberlanjutan yang absolut (absolute sustainability) yang hanya ada di dunia teoritis dan tidak akan pernah ada di dunia nyata. Hal tersebut tercermin dari Delegated-Acts Renewable Energy Directive II (RED II) hingga EU Deforestation – Free Regulation (EUDR).
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 142)