Oleh :Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn.
Industri perkebunan kelapa sawit adalah termasuk industri yang memiliki aturan yang sangat beragam, bahkan termasuk industri yang terkena imbas dari tumpang tindih berbagai regulasi. Persoalan tata guna lahan dalam industri perkebunan kelapa sawit termasuk salah satu persoalan ‘legendaris’ yang selalu menjadi kendala perusahaan perkebunan kelapa sawit. Persoalan tata guna lahan bersumber dari banyak perizinan yang perlu diurus dan banyaknya tumpang tindih regulasi yang melahirkan banyaknya kewenangan penerbitan perizinan mau pun pengawasan di bidang tata guna lahan.
Rumit dan birokratisnya pengurusan perizinan dan kepemilikan tata guna lahan tidak tersentuh dalam berbagai paket kebijakan ekonomi di masa periode pertama Presiden Joko Widodo. Bahkan pada akhir periode pertama pemerintahannya, Presiden Joko Widodo menerbitkan PP Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik dan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.
Presiden menyadari bahwa tumpang tindih regulasi, termasuk persoalan tata guna lahan merupakan hambatan bagi investor dan petani plasma, termasuk dalam hal ini tumpang tindih kewenangan dalam tata guna lahan. Dalam evaluasi setahun berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik, terungkap bahwa perizinan saat ini masih sebagian kecil saja yang dapat dilayani secara elektronik dengan bantuan kecerdasan buatan dan sistem pelayanan yang ada saat ini belum dapat mewujudkan data sharing sehingga akan banyak instansi terlibat dalam pengurusan perizinan. Demikian juga dengan tidak adanya data sharing antar instansi maka menyebabkan jumlah perizinan yang diurus masih sangat banyak jumlahnya dan secara prosedur juga masih panjang serta tidak memiliki kepastian waktu.
Online Single Submission (OSS) belum berfungsi sebagai single submission, sehingga pengurusan perizinan masih melalui birokrasi yang panjang, tidak terintegrasi serta tidak memiliki data sharing antar instansi, hal ini terungkap dalam surat edaran (SE) kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal nomor 5743/A.8/B.1/2019 tertanggal 17 Oktober 2019 tentang rencana penerapan sistem online single submission (OSS) versi 1.1.
Selanjutnya pada pidato perdana usai pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019 – 2024 yang lalu, Presiden Joko Widodo dalam sambutannya menyampaikan akan memangkas regulasi yang tumpang tindih melalui upaya penyederhanaan dengan pembentukan Omnibus Law, yang kini dikenal sebagai rancangan undang-undang “Cipta Kerja”. Dalam omnibus law (RUU Cipta Kerja) yang kini tengah dibahas pemerintah bersama dewan perwakilan rakyat.
Klaster Pertanahan dan Industri Sawit
Salah satu klaster dari substansi RUU Cipta Kerja yang paling banyak berhubungan dengan industri kelapa sawit adalah klaster pertanahan. Setidaknya ada delapan poin dalam klaster pertanahan RUU Cipta Kerja sebagaimana dikenal sebagai omnibus law saat ini yang memiliki potensi berkorelasi positif dalam industri sawit.
Pertama, Kementerian ATR/BPN akan membidangi proses pengadaan tanah dalam kawasan hutan dengan mekanisme pelepasan tanah kawasan hutan, tanah kas desa, tanah wakaf, hingga tanah asset instansi pemerintah. Dampak positif bagi industri kelapa sawit adalah proses pelepasan kawasan hutan menjadi APL untuk lahan perkebunan sawit akan menjadi lebih sederhana dan terintegrasi dengan pengurusan sertipikat hak atas tanah. Diharapkan terwujud kepastian hukum soal tata ruang lahan (petakawasan dan tata guna lahan antara BPN dan KLHK sering berbeda), demikian juga diharapkan waktu pengurusan lebih cepat.
Kedua, Pengaturan soal Kepentingan pengadaan tanah kawasan ekonomi khusus (KEK), kawasan obyek wisata, kawasan industri, dan kegiatan hilir migas diatur dalam klaster pertanahan RUU Cipta Kerja. Dampak positif bagi industri kelapa sawit adalah dengan adanya penyederhanaan aturan untuk pengadaan tanah di KEK maka akan mempermudah ekspansi refinery industri hilir kelapa sawit. Demikian juga akan dapat dipergunakan sebagai dasar hukum bagi pemerintah dalam memberikan insentif kemudahan pembangunan refinery kepentingan sektor pengolahan (hilir) kelapa sawit.
Ketiga, Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dengan adanya aturan tersebut maka diharapkan adanya pedoman yang jelas bagi penetapan tanah terlantar di lahan sawit yang dipergunakan dengan alasan kepentingan umum.
Keempat, akan diatur mekanisme jenis ganti rugi mengenai kepemilikan saham, apakah ganti rugi dalam bentuk uang, tanah pengganti atau relokasi, dan bagaimana proses pengadaan tanah ini supaya masyarakat bisa sharing dalam semacam kepemilikan saham.Dampak positif bagi industri sawit adalah mendorong modernisasi pengelolaan koperasi sawit menuju kearah yang lebih komersial dan akuntabel. Demikian juga aturan mengenai tanah pengganti atau relokasi dalam klaster pertanahan dapat menjadi dasar hukum bagi lahan kelapa sawit yang terkena aturan terkait fungsi lindung (misalnya lahan gambut) sehingga harus direlokasi.
Kelima, Rencana pemerintah untuk membentuk lembaga yang disebut sebagai Badan Bank Tanah. Dampaknya untuk industri sawit adalah masa berlaku sertipikat hak guna usaha (HGU) atau sertipikat lainnya menjadi lebih lama. Selain itu dapat menjadi rujukan bagi para investor yang hendak memulai industri kelapa sawit (sehubungan lokasi perkebunan).
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 104)