Oleh : Dr. Bedjo Santoso *) dan Prof.Dr. Chairil Anwar Siregar **)
(Bagian kedua – Selesai)
Artikel akan diterbitkan sebanyak dua kali yaitu edisi 15 Februari-15 Maret 2019 (Bagian Pertama) dan edisi 15 Maret-15 April 2019 (Bagian Kedua). *Praktisi Kehutanan sekaligus Peneliti pada Institute for Sustainable Earth and Resources MIPA-UI. **) Peneliti pada Badan Litbang dan Innovasi Kementerian LHK |
Pola Agroforestry dalam Ekosistem Hutan Tanaman Sawit
Konsep penanaman kelapa Sawit dalam kawasan hutan dalam bentuk konsesi hutan tanaman sebenarnya dapat dilakukan dengan pola agroforestry pada hutan produksi yang dapat dikonversi. Dengan konsep ini pembangunan kebun kelapa sawit tidak perlu proses pelepasan kawasan hutan diharapkan luasan kawasan hutan produksi kita dapat dipertahankan. Dalam Undang-Undang no. 41 Tahun 1999, terdapat amanah pembangunan hutan tanaman berbagai jenis, berarti pola agroforestry merupakan jawaban imlementasi amanah tersebut dalam rangka optimalisasi ruang pada hutan produksi dengan tanaman berbagai jenis. Dengan konsep tersebut maka aspek ekonomi, konservasi dan kesejateraan masyarakat terakomodir. Oleh karena itu payung hukum penanaman sawit dalam kawasan hutan sudah memungkinkan bagi pengambil keputusan (Menteri LHK) untuk memasukkan kelapa sawit sebagai salah satu tanaman hutan.
Masuknya kelapa sawit dalam kawasan hutan produksi tidak akan mengganggu fungsi-fungsi zonasi dalam hutan tanaman itu sendiri. Konsep pembangunan hutan tanaman ini akan lebih sinergis jika dipadukan dengan konsep pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan yang kita kenal dengan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011.
Instruksi Presiden No.8 tahun 2018 Kemana Sasaranya?
Tahun 2018 merupakan tahun kejutan buat masyarakat perkelapasawitan Indonesia sebab pada awal Oktober 2018, Presiden R.I menerbitkan instruksi yang diberi label Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Bilyet Presiden tersebut memiliki sasaran untuk peningkatan tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, memberikan kepastian hukum, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca, serta untuk peningkatan pembinaan petani kelapa sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Sasaran Inpres tersebut sangat normative dan cakupannya luas, sehingga alih-alih sasaran akan tercapai, tetapi justru yang terjadi pelemahan daya saing perkebunan kelapa sawit Indonesia. Sebab, penentu tercapainya sasaran-sasaran yang tercantum dalam Inpres tersebut bukan oleh faktor internal tetapi faktor ekternal yang kontraproduktif dengan perkelapasawitan itu sendiri. Faktor eksternal dimaksud seperti perizinan lahan, sistem perpajakan, budidaya tanaman, dan proses hilirisasi, birokrasi pemerintah dan lain-lain yang tidak kondusif perkembangan kelapa sawit. Oleh karena itu apabila faktor ekternal masih given seperti itu maka mustahil sasaran Inpres tersebut dapat tercapai. Justru yang akan terjadi adalah melemahnya daya saing kelapa sawit akibat turunnya harga, suburnya praktek transaksional dalam perijinan dan munculnya premanisme dalam operasional kelapa sawit dengan dalih implementasi inpres, berkurangnya semangat petani sawit dan lain sebagainya.