Kinerja industri sawit tahun depan diperkirakan semakin positif. Tren harga tinggi tahun depan diperkirakan tidak akan berlanjut. Covid-19 akan memengaruhi perilaku negara konsumen minyak sawit. Disinilah, perlunya menjaga keseimbangan suplai dan permintaan.
Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI, tidak banyak berkomenta saat diajukan pertanyaan kondisi industri sawit 2021. “Ini pertanyaan yang sering diajukan. Tapi siapa yang tahu kondisinya (tahun depan),” kata Joko dalam jumpa pers IPOC 2020 yang digelar virtual.
Namun, Lulusan Fakultas Pertanian UGM ini berbagi sedikit analisisnya terkait harga dan tren ekspor sawit pada tahun depan. Pandemi tetap mempengaruhi perkembangan sawit. “Faktor new normal mungkin pengaruhi beberapa perilaku dalam konsumsi dan segala macam, saya yakin itu. Untuk ekspor belum bisa normal 100%,” ujar Joko.
Walaupun demikian, kondisi industri sawit tetap cemerlang. Pasar ekspor yang labil akan tertolong permintaan domestik. Hal ini diakui Joko yang mengatakan konsumsi pasar domestik masih menjadi keberuntungan bagi industri sawit.
Ditambahkan Joko, konsistensi pemerintah sangatlah penting dalam implementasi mandatori B30. Penggunaan sawit untuk B30 mengkompensasi landainya pasar ekspor. Selain itu, konsumsi oleochemical juga meningkat untuk memenuhi kebutuhan prodouk bahan baku pembersih, seperti disinfektan, sabun cuci tangan, hingga hand sanitizer. Naiknya permintaan seiring kebijakan protokol kesehatan dan kesadaran masyarakat untuk menghindari tertular Covid-19.
Pada pertengahan November 2020, Forum Group Discussion (FGD) bertemakan “Outlook Industri Kelapa Sawit Indonesia” diadakan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di kawasan Serpong, Banten. Forum ini menghadirkan dua pembicara: Dr. Fadhil Hasan, Ketua Bidang Luar Negeri GAPKI dan Ir. Gulat ME Manurung, MP, CAPO, Ketua Umum DPP APKASINDO.
Dalam presentasi berjudul “Outlook Industri Minyak Sawit 2021 dan Implikasinya pada Program B-30”, Fadhil Hasan memulai pemaparan dengan menunjukkan tren bulanan produksi sawit periode 2016-2019. Pada tahun ini, produksi produksi CPO diperkirakan minus 4% menjadi 45,5 juta metrik ton. Perkiraan ini lebih rendah dari tahun 2019 berjumlah 47,1 juta metrik ton.
Menurutnya Faktor yang mempengaruhi penurunan produksi pada tahun 2020 adalah pemupukan yang kurang akibat harga rendah dan la Nina 2019, pandemi covid-19, faktor laNina, kekurangan tenaga kerja (terutama di Malaysia).
“Turunnya produksi disebabkan kegiatan pemupukan yang tidak optimal berjalan di kebun terutama milik petani. Dampaknya dapat terlihat di tren produksi semester pertama. Rendahnya produksi juga terjadi di Malaysia. Kebijakan lockdown untuk mengatasi pandemic berimbas kepada suplai tenaga kerja. Kekurangan tenaga kerja ini membuat produksi lebih rendah,” ungkap Fadhil.
Menurutnya produksi bulanan selama semester pertama 2020 menunjukan penurunan, namun diharapkan pada semester kedua akan menunjukan pertumbuhan walau tipis. Secara seasonal, produksi semester kedua selalu lebih tinggi dibandingkan dengan semester pertama.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 109)