Berkembangnya industri sawit nasional menjadi suatu Megasektor Sawit, memerlukan perubahan paradigma, cara dan lingkup penelolaan. Apalagi dengan peran strategis Megasektor Sawit dalam pembangunan Indonesia tersebut di atas, menuntut perubahan pengelolaan Megasektor Sawit yang integratif ke depan. Mengelola kebun sawit yang hanya sektoral berbeda dengan pengelolaan suatu Megasektor Sawit. Apalagi dikaitkan dengan posisi Indonesia sebagai salah satu pemain utama pasar minyak nabati global, maka pengelolaan Megasektor Sawit seperti selama ini hanya selevel Eselon 3 dan tersekat-sekat pada berbagai kementerian, sangat tidak memadai.
Pengelolaan Megasektor Sawit nasional sampai saat ini masih lemah, tersekat-sekat (dispersal) dan berjalan sendir-sendiri. Pada level nasional saat ini setidaknya 15 kementerian/lembaga yang terkait dengan Megasektor Sawit. Belum lagi 23 pemerintahan provinsi dan 200 lebih kabupaten yang mengurus sentra-sentra sawit. Bahkan untuk sektor hilir melibatkan hampir semua pemerintahan dan kota.
Banyakanya lembaga yang menangani dan cenderung ego sektoral, membuat Megasektor Sawit tersekat-sekat bahkan mengalami disintegrasi pengelolaan. Secara teoritis (atau diruang rapat) kordinasi antar lembaga memang dapat dilakukan, namun pada kenyataanya kordinasi menjadi barang mewah dab sulit terlaksana pada tataran implementasi. Hal ini terjadi, selain tidak memiliki pemehaman yang sama tentang apa yang diperlakukan Megasektor Sawit, juga karena lembaga-lembaga tersebut bukan hanya mengurus sawit, bahkan sawit hanya memperoleh porsi perhatian yang kecil. Direktorat Jendral Perkebunan (kementerian Pertanain) saja, mengurusi belasan komoditas perkebunan selain sawit.
Sumber: GAPKI